Dalam fakta persidangan, Hasto diduga menyuruh Harun merendam ponselnya agar tidak terlacak, serta menyembunyikan diri di kantor DPP PDIP pada saat operasi tangkap tangan digelar oleh KPK pada Januari 2020.
Instruksi tersebut dianggap sebagai bentuk upaya perintangan penyidikan, yang menjadi salah satu poin dakwaan terhadap Hasto.
Ia kini dijerat dua pasal, yakni pasal suap dan pasal menghalangi penyidikan, yang keduanya berpotensi menjerat hukuman berat jika terbukti di pengadilan.
Dakwaan terhadap Hasto juga mencakup pemberian suap sebesar Rp600 juta kepada mantan Komisioner KPU, Wahyu Setiawan.
Uang itu diduga diberikan sebagai “pelicin” untuk memperlancar penetapan Harun Masiku sebagai anggota DPR lewat mekanisme PAW periode 2019–2024.
Pernyataan Saeful juga menyingkap nuansa relasi kekuasaan yang sangat kental di tubuh partai.
Meski tidak memiliki status kepegawaian resmi, Saeful menyebut bahwa ia kerap melaporkan semua kegiatan dan perkembangan terkait pengurusan Harun langsung ke Hasto.
Dalam penjelasannya kepada hakim, ia mengatakan bahwa seluruh aktivitasnya dalam hal ini selalu dilaporkan, karena “semuanya wajib lapor”.
Fakta-fakta ini menjadi catatan penting dalam proses hukum yang tengah berjalan. Persidangan Hasto tidak hanya menjadi ujian bagi aparat penegak hukum, tetapi juga menempatkan integritas partai politik dalam sorotan publik.
Kasus ini juga kembali membuka luka lama tentang buronnya Harun Masiku, yang hingga kini belum berhasil ditangkap oleh KPK sejak dinyatakan buron pada 2020.
Publik masih menanti sejauh mana proses hukum ini akan membuka tabir peran aktor-aktor kunci yang selama ini bersembunyi di balik struktur partai.
Dengan segala perkembangan ini, perhatian publik akan terus tertuju pada jalannya persidangan dan bagaimana sistem hukum di Indonesia akan menyikapi kasus yang menyeret nama besar di kancah politik nasional.***