Pernyataan ini juga disampaikan di hadapan sejumlah pejabat tinggi, termasuk Menteri Sosial Saifullah Yusuf dan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin.
Lebih dari sekadar wacana teknis, Dedi mengangkat ironi sosial yang ditemuinya selama turun langsung ke lapangan.
Ia menyebut pernah mendapati satu keluarga prasejahtera dengan 22 orang anak, sementara banyak keluarga kelas menengah ke atas justru kesulitan memiliki anak meskipun sudah membayar hingga miliaran rupiah untuk program bayi tabung.
Melalui pendekatan berbasis insentif, pemerintah provinsi juga menyiapkan program “Desa Istimewa” sebagai penghargaan bagi desa-desa yang sukses dalam mengelola kualitas hidup warganya, termasuk pengendalian angka kelahiran.
Baca Juga: Sabu Senilai 22 Miliar Rupiah Dari Timur Tengah Masuk Lewat Surabaya
Desa terbaik akan mendapatkan stimulus pembangunan hingga Rp10 miliar.
“Kalau jadi juara di tingkat kecamatan, dapat Rp200 juta. Kalau menang tingkat kabupaten/kota, dapat Rp1 miliar. Dan desa yang paling sukses akan diumumkan ke publik,” jelas Dedi.
Meskipun menuai pro dan kontra, wacana ini mencerminkan upaya Dedi Mulyadi untuk membawa pendekatan baru dalam kebijakan kesejahteraan.
Bagi Dedi, mengatur kelahiran bukan semata soal angka, tapi soal tanggung jawab, baik oleh keluarga, maupun negara yang menanggung biaya hidup masyarakatnya.
Baca Juga: Utang Negara Senilai 4 Triliun Dibebankan Kepada Keluarga Almarhum Suparta
Inisiatif ini sekaligus membuka diskusi lebih luas soal batas peran negara dalam menentukan hak reproduksi warganya.***