HUKAMANEWS – Hingga kini, Pangeran Diponegoro tak pernah "mati". Namanya terus hidup dalam ingatan kolektif bangsa, diabadikan menjadi nama jalan, gedung hingga lembaga pendidikan.
Pangeran Diponegoro yang merupakan pemimpin Perang Jawa itu, terlahir dengan nama kecil Bendara Raden Mas Mustahar pada 11 November 1985. Terlahir di lingkungan Keraton Yogyakarta, Diponegoro merupakan anak dari Sri Sultan Hamengkubuwono III dan ibunya bernama Mangkarawati, selir Sri Sultan Hamengkubuwono yang berasal dari Pacitan.
Perang Jawa atau yang dikenal dengan Perang Diponegoro yang terjadi 200 tahun lalu, dikenal sebagai peristiwa heroik. Perang itu menjadi bukti perlawanan kaum pribumi terhadap kesewenang-wenangan kaum kolonial.
Baca Juga: Serakahnomics Jadi Tren di Indonesia Kini, Prabowo Siap Sikat Habis, Tunggu Tanggal Mainnya
Dengan menggunakan taktik gerilya yang memanfaatkan medan pegunungan dan hutan Jawa, Pangeran Diponegoro berhasil membuat pasukan Belanda kesulitan menangkapnya. Dukungan dari tokoh seperti Kyai Mojo, Sentot Prawirodirdjo, dan Kerto Pengalasan pun memperkuat perlawanan pada perang yang berlangsung pada 1825 hingga 1830 itu.
Perang Jawa tidak hanya meninggalkan jejak sejarah yang signifikan dalam perjuangan rakyat Indonesia, tetapi juga memberikan dampak besar bagi pemerintah kolonial Belanda, baik dari segi ekonomi, militer, maupun politik.
Perang Jawa mendapatkan dukungan kuat dari masyarakat. Tidak hanya di wilayah meletusnya perang yakni di Tegalreo, tetapi juga di luar Jawa.
Baca Juga: Ribuan Ojol Demo di Jakarta Hari Ini, Siap Offbid Massal jika 5 Tuntutan Tak Didengar
Strategi "Benteng Stelsel" dengan membangun benteng-benteng, yang diterapkan Belanda pada 1827 mulai melemahkan pasukan Diponegoro, terutama setelah banyak pengikutnya ditangkap atau gugur.
Belanda kemudian mengadakan perundingan dengan Diponegoro pada 1830, tetapi perundingan ini berakhir dengan pengkhianatan Letnan Gubernur Jenderal Henrik Merkus de Kock. Pangeran Diponegoro ditangkap pada 28 Maret 1830 di Magelang dan diasingkan ke Manado, kemudian ke Makassar, hingga meninggal dunia pada 1855.
Kepala Perpusnas Prof E. Aminudin Azis dalam peringatan 200 tahun Perang Jawa, mengatakan perang itu dipicu oleh perasaan masyarakat yang sudah sangat tertindas akibat ketidakadilan dan kelaliman kolonial.
Baca Juga: Ribuan Ojol Demo di Jakarta Hari Ini, Siap Offbid Massal jika 5 Tuntutan Tak Didengar
Amin yang menanyakan langsung pada sejarawan Peter Carey menyebut dari sudut pandang Pangeran Diponegoro, esensi perang adalah “I want respect!”.
Perang Jawa, kata dia, berkaitan dengan upaya merawat hakikat jati diri yang bermartabat.
Artikel Terkait
Penyitaan Terbesar Sepanjang Sejarah! Kejagung Pamer Tumpukan Uang Rp 11,8 Triliun dari Kasus CPO Wilmar Group
Penulisan Ulang Sejarah Sudah Capai 80 Persen, Sejarah Indonesia Tak Ditulis Sejak Era Gus Dur
Menbud Fadli Zon: Peristiwa Kelam Rudapaksa Etnis Tionghoa dalam Tragedi 98 Tak Akan Dihapus dalam Penulisan Ulang Sejarah Indonesia
Presiden Prabowo Cetak Sejarah, CEPA Akhirnya Disepakati, Ekonomi RI Buka Pintu ke Pasar Uni Eropa, Nilainya Triliunan Euro!
Uji Publik Penulisan Sejarah Indonesia, Tanggal 20 Juli, Cermati