HUKAMANEWS - Generasi Z, kumpulan individu yang lahir di era digital antara tahun 1997 hingga 2012, kini menjadi pusat perhatian dalam konteks ketenagakerjaan yang memprihatinkan di Indonesia.
Data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan angka yang mencengangkan: lebih dari 9 juta Generasi Z tidak terlibat dalam pekerjaan, pendidikan, atau pelatihan (NEET - not in employment, education, and training) pada Agustus 2023, setara dengan 22,25 persen dari total populasi usia muda di Indonesia.
Kondisi ini menjadi paradoks mengingat citra yang seringkali melekat pada Generasi Z, yang digambarkan sebagai generasi yang dinamis, penuh semangat, dan menikmati kehidupan dengan cara yang unik.
Baca Juga: Lebih dari 50 Warga Indonesia Dapat Kesempatan Pergi Haji Gratis Atas Undangan Raja Salman
Namun, realitas di lapangan menunjukkan ketidaksesuaian antara output pendidikan vokasional dengan tuntutan pasar kerja, seperti yang diakui oleh Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah dalam Rapat Kerja dengan Komisi IX DPR RI.
Pandangan perihal pekerjaan dan kebahagiaan Generasi Z juga mengalami pergeseran signifikan, yang tercermin dari survei Randstad Workmonitor tahun 2022.
Data tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar Generasi Z lebih memilih menganggur daripada terjebak dalam pekerjaan yang tidak memenuhi kebutuhan mereka secara emosional.
Baca Juga: Sidang Kasus Tol MBZ, Mengungkap Lendutan dan Landaian, Sesuai Spesifikasi?
Ini menandakan pentingnya kepuasan kerja bagi generasi ini, di atas jaminan gaji atau stabilitas pekerjaan.
Namun, tantangan tidak berhenti di situ bagi Generasi Z.
Mereka juga harus menghadapi beban sebagai bagian dari generasi sandwich, sebuah fenomena di mana mereka harus memenuhi kebutuhan hidup sendiri, mendukung keluarga inti, dan mungkin juga orang tua mereka secara bersamaan.
Hal ini diperparah dengan kebijakan seperti Program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), yang baru-baru ini diperkenalkan oleh pemerintah.
Kebijakan Tapera, meskipun dimaksudkan untuk menyediakan pembiayaan rumah murah, menuai kontroversi dan penolakan dari berbagai kalangan, terutama dari pekerja dan pengusaha.
Penolakan ini muncul karena kebijakan tersebut mengharuskan pemotongan gaji sebesar 2,5 persen dari pekerja, ditambah iuran 0,5 persen dari pemberi kerja.
Artikel Terkait
Kritik Buruh terhadap Kebijakan Pemotongan Gaji untuk Tapera, Beban Baru di Tengah Upah yang Stagnan
Polemik Tapera, Iuran 3 Persen Gaji Dinilai Bebani Pekerja, Pemerintah Didesak Tinjau Ulang Kebijakan di Tengah Ekonomi Lesu
Apa Itu Tapera? Bukan Cuma di Indonesia, 7 Negara Ini Juga Menerapkan Hal yang Sama Lho!
Tapera Diwajibkan Bagi Semua Pekerja, Termasuk yang Sudah Memiliki Rumah
PP Tapera 2024, Solusi atau Beban Baru Bagi Rakyat?