HUKAMANEWS GreenFaith - Dari mimbar gereja hingga serambi masjid, dari vihara hingga pura, suara seruan untuk bumi kini bergema: energi harus dikelola dengan iman dan keadilan.
Dalam Policy Brief bertajuk “Reorientasi Transisi Energi untuk Keadilan Iklim”, Green Faith Indonesia menegaskan pentingnya menempatkan dimensi spiritual dan moral dalam setiap kebijakan energi nasional.
“Energi bukan sekadar soal listrik dan investasi, tapi tentang kehidupan yang adil dan berkelanjutan,” ujar Hening Parlan, Direktur Green Faith Indonesia.
Menurutnya, dalam ajaran Islam, energi adalah thāqah — kekuatan yang wajib digunakan untuk kemaslahatan, bukan kemudaratan.
“Jika energi justru merusak bumi dan manusia, maka arah kebijakannya perlu diperiksa ulang,” kata Hening.
Senada, Dr. Li Edi Ramawijaya Putra dari Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Sriwijaya menekankan bahwa pengelolaan energi tidak boleh elitis.
“Energi adalah hak dasar semua orang. Bila dikuasai segelintir pihak, ketimpangan akan terus meluas,” ujarnya.
Sementara Romo Charles Lamaberaf, SVD., M.Sc., dari NTT menyoroti ketidakadilan dalam proyek panas bumi di Flores.
“Transisi yang tidak adil hanya memindahkan luka dari satu generasi ke generasi berikutnya,” katanya.
Para tokoh lintas iman ini sepakat, prinsip kesalehan, kemaslahatan, musyawarah, dan konservasi harus menjadi jantung transisi energi Indonesia.
Mereka menyerukan agar pemimpin agama dilibatkan dalam forum kebijakan energi nasional dan global.
“Iman harus bergerak. Karena mencintai bumi adalah bagian dari ibadah,” pungkas Hening.***