Menakar Arah Investasi Hijau: Saat Sektor Keuangan Jadi Penentu Masa Depan Iklim

photo author
- Jumat, 31 Oktober 2025 | 10:05 WIB

HUKAMANEWS GreenFaith — Perubahan iklim kini tak lagi bisa dipandang sekadar isu lingkungan. Dampaknya telah merambah ke sektor ekonomi, keuangan, hingga stabilitas nasional.

Di tengah urgensi transisi menuju ekonomi rendah karbon, sektor perbankan Indonesia dihadapkan pada tantangan besar: bagaimana mengarahkan investasi agar sejalan dengan target Net Zero Emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat.
Isu tersebut menjadi sorotan utama dalam kegiatan “Diskusi Publik dan Peluncuran Laporan Studi: Persepsi Pakar dan Opinion Maker – Membiayai Target Net Zero Emission (NZE): Kemana Arah Investasi Bank di Indonesia”, yang menghadirkan pembicara dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Climate Policy Initiative (CPI), dan WWF Indonesia.
Acara ini menyoroti pentingnya peran perbankan dalam mendorong ekonomi rendah karbon melalui pembiayaan hijau. Di saat yang sama, kolaborasi lintas sektor antara regulator, lembaga keuangan, pemerintah, dan masyarakat sipil menjadi syarat mutlak agar transisi menuju ekonomi hijau tidak hanya cepat, tetapi juga adil dan inklusif.

Regulator Perkuat Dasar Keuangan Hijau

Dalam pembukaannya, perwakilan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menegaskan komitmen regulator memperkuat sistem keuangan yang tangguh terhadap risiko iklim.

Sejumlah langkah strategis telah dilakukan, mulai dari peluncuran Taksonomi Hijau Indonesia sebagai panduan kegiatan ekonomi berkelanjutan, penyusunan Panduan Manajemen Risiko Iklim dan Stress Testing, hingga penerbitan Peta Jalan Keuangan Berkelanjutan Tahap II (2021–2025) sebagai acuan penerapan prinsip ESG (Environmental, Social, and Governance) di lembaga keuangan.
OJK menilai, perubahan iklim kini telah menjadi risiko finansial sistemik. Perubahan cuaca ekstrem, pergeseran kebijakan transisi energi, serta penurunan nilai aset di sektor-sektor intensif karbon dapat berdampak langsung pada portofolio kredit dan stabilitas ekonomi makro. Karena itu, lembaga keuangan diharapkan tidak hanya menilai kelayakan kredit dari sisi finansial semata, tetapi juga mempertimbangkan potensi risiko iklim yang menyertainya.
Namun, kesadaran itu belum sepenuhnya diikuti oleh kemampuan teknis di lapangan. Banyak lembaga keuangan masih berada pada tahap awal implementasi pembiayaan hijau, dengan keterbatasan sumber daya, data, dan kapasitas.

OJK menekankan pentingnya peningkatan literasi dan transparansi data agar pembiayaan hijau dapat berkembang lebih cepat dan terukur.

Kesenjangan Investasi Energi Bersih Masih Menganga
Pandangan serupa disampaikan Luthfyana “Chika” Larasati, Manager of Climate Finance dari Climate Policy Initiative (CPI). Menurutnya, kebutuhan investasi untuk energi bersih di Indonesia jauh lebih besar dibandingkan realisasi yang ada.

Berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) Hijau 2025–2034, Indonesia membutuhkan investasi sekitar USD 188 miliar, atau USD 18,8 miliar per tahun. Namun, hingga kini realisasinya baru sekitar USD 3 miliar per tahun, menunjukkan kesenjangan pendanaan yang lebar.
Sebagian besar pendanaan energi terbarukan di Indonesia berasal dari sektor swasta, dengan bunga pinjaman komersial yang masih tinggi dan tenor pendek.

Sementara pembiayaan publik lebih banyak datang dari lembaga internasional dengan bunga lunak. Di tengah kondisi ini, banyak proyek energi hijau dinilai berisiko tinggi oleh perbankan, terutama pada tahap awal pembangunan.
Chika menekankan perlunya jaminan risiko dan kepastian kebijakan agar minat investasi meningkat. Ia juga mengingatkan bahwa transisi energi tidak hanya soal mengganti sumber daya, tetapi memastikan tidak ada pihak yang tertinggal. Keadilan sosial, kata dia, harus menjadi bagian dari strategi transisi energi nasional agar manfaat pembangunan rendah karbon dapat dirasakan merata oleh masyarakat.

Ketika Risiko Iklim Menjadi Risiko Ekonomi
Dalam sesi berikutnya, Aurellia Puteri Arfita, Sustainable Finance Analyst dari WWF Indonesia, menegaskan bahwa perubahan iklim sejatinya adalah risiko ekonomi.

Menurutnya, ketika pelaku industri memahami bahwa krisis iklim bisa memengaruhi stabilitas finansial perusahaan, maka isu tersebut harus menjadi bagian dari strategi bisnis utama, bukan sekadar tanggung jawab sosial perusahaan.
WWF menilai, posisi Indonesia dalam kesiapan keuangan hijau masih di bawah 50 persen, meskipun menunjukkan peningkatan sejak OJK menerbitkan panduan manajemen risiko iklim. Dalam uji ketahanan terhadap 22 bank nasional, ditemukan bahwa bank dengan eksposur tinggi pada sektor batu bara menghadapi risiko gagal bayar lebih besar.
Aurellia juga menyoroti ketimpangan antara perusahaan besar dan kecil dalam akses terhadap pembiayaan hijau. Perusahaan besar mampu membiayai sendiri proyek dekarbonisasi, sementara perusahaan kecil sering kali kesulitan mengakses pinjaman karena keterbatasan agunan dan informasi.

Ia menekankan perlunya inovasi pembiayaan melalui kemitraan dengan perusahaan penyedia layanan efisiensi energi, atau Energy Service Company (ESCO), agar transisi menuju ekonomi hijau lebih inklusif.
Menurut Aurellia, transisi energi akan berhasil hanya jika dibangun di atas kolaborasi lintas sektor yang konsisten, transparan, dan berbasis keadilan sosial.
“Risiko iklim akan terus meningkat, tak peduli arah kebijakan berubah. Karena itu, sektor keuangan perlu membangun climate transition plan yang kredibel dan berbasis sains,” ujarnya menutup diskusi.***

Penulis/kontributor: Annisa Gendis 

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Sukowati Utami JI

Tags

Rekomendasi

Terkini

Banjir Sumatra dan Krisis Moral Ekologis Bangsa

Sabtu, 6 Desember 2025 | 22:05 WIB

Tragedi Sumatera, Ketika Kesucian Alam Dipertaruhkan

Kamis, 4 Desember 2025 | 14:07 WIB
X