Transisi Energi Gagal Berkeadilan, Tokoh Lintas Iman Desak Pemerintah Tinjau Ulang Arah Kebijakan Nasional

photo author
- Senin, 3 November 2025 | 15:48 WIB
Ilustrasi Lokasi pertambangan nikel di Sulawesi. Transisi energi yang diharapkan untuk menyelamatkan lingkungan justru berisiko melahirkan kerusakan ekologis dan ketidakadilan sosial baru.
Ilustrasi Lokasi pertambangan nikel di Sulawesi. Transisi energi yang diharapkan untuk menyelamatkan lingkungan justru berisiko melahirkan kerusakan ekologis dan ketidakadilan sosial baru.

HUKAMANEWS GreenFaith - Dua tahun setelah Indonesia mengumandangkan komitmen besar transisi energi dalam KTT G20 Bali, sejumlah tokoh lintas iman menilai perjalanan menuju energi hijau belum berpihak pada rakyat dan lingkungan.

Mereka menyerukan agar pemerintah segera meninjau ulang arah kebijakan yang selama ini hanya berfokus pada perpindahan komoditas, bukan keadilan iklim.

Green Faith Indonesia dalam laporan terbarunya menyoroti fakta bahwa proyek-proyek besar transisi energi, seperti Just Energy Transition Partnership (JETP) senilai 20 miliar dolar AS, justru melahirkan krisis baru.

Baca Juga: Sumpah Pemuda dan Mimpi Antikorupsi yang Tersesat di Jalan Kekuasaan

“Transisi energi yang sejatinya membawa kebaikan, kini malah memunculkan luka ekologis dan sosial baru,” kata Hening Parlan, Koordinator Nasional GreenFaith Indonesia.

Data dari Forest Watch Indonesia menunjukkan, sejak 2021 hingga 2023, terjadi deforestasi lebih dari 5.700 hektar di Maluku Utara akibat tambang nikel. Sementara di Papua, 623 hektar hutan di pulau kecil Raja Ampat turut rusak. Ironisnya, sektor nikel yang digadang sebagai tulang punggung energi hijau justru mempercepat pencemaran dan krisis kesehatan.

Sebuah studi Nexus Foundation (Juli 2024) menemukan 47 persen darah warga sekitar Teluk Weda mengandung merkuri di atas batas aman.

Baca Juga: Anggota DPR Desak Komnas HAM dan Polri Ungkap Dugaan Perdagangan Orang di Kapal KM MUS dan Run Zeng 03

“Warga kecil menanggung dampak berat, sementara keuntungan besar dinikmati korporasi,” ujar Hening.

Menurut laporan The Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), Indonesia kini memiliki 132 PLTU captive dengan total kapasitas 15,2 gigawatt untuk menopang industri nikel. Jumlah ini berpotensi melonjak hingga 26,2 gigawatt pada 2030—lebih besar dari total PLTU di Australia.

Direktur GreenFaith Indonesia Hening Parlan saat menyampaikan materi dalam acara Kuliah Pakar di Auditorium Multimedia, Kampus Untirta Sindangsari, Serang, Banten 2025pada Senin (26/5/2025).
Direktur GreenFaith Indonesia Hening Parlan saat menyampaikan materi dalam acara Kuliah Pakar di Auditorium Multimedia, Kampus Untirta Sindangsari, Serang, Banten 2025pada Senin (26/5/2025).

Transisi energi berkeadilan bukan sekadar teknis mengganti batubara dengan tenaga surya atau angin. Ia harus menyentuh keadilan sosial, ekonomi, dan ekologis,” tegas Hening.

Green Faith Indonesia mendesak pemerintah menata ulang arah kebijakan, melibatkan tokoh agama, dan memastikan transisi energi berpijak pada kemaslahatan rakyat, bukan sekadar investasi.***

 

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Sukowati Utami JI

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Banjir Sumatra dan Krisis Moral Ekologis Bangsa

Sabtu, 6 Desember 2025 | 22:05 WIB

Tragedi Sumatera, Ketika Kesucian Alam Dipertaruhkan

Kamis, 4 Desember 2025 | 14:07 WIB
X