Ketiga, politik agama yang justru memperlemah agenda lingkungan. Tidak jarang agama digunakan untuk memberi legitimasi pada kebijakan yang merusak lingkungan. Narasi keagamaan bisa dipakai untuk membungkam kritik, seolah-olah eksploitasi sumber daya alam adalah bagian dari “berkah” atau “takdir” yang harus diterima umat.
Agama sebagai Sahabat Lingkungan
Namun, di sisi lain, agama juga memiliki potensi luar biasa sebagai sahabat lingkungan.
Pertama, ajaran teologis yang pro-ekologi. Dalam Islam, manusia ditempatkan sebagai khalifah fil-ardh (wakil Tuhan di bumi). Allah berfirman:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi…’” (QS. Al-Baqarah [2]:30).
Ayat ini menegaskan bahwa tugas manusia bukan sekadar menikmati bumi, tetapi menjaga, merawat, dan mengelola bumi dengan penuh tanggung jawab. Menjadi khalifah berarti memastikan keberlanjutan ciptaan Allah agar tetap lestari bagi generasi berikutnya.
Al-Qur’an juga mengingatkan tentang dampak buruk bila manusia lalai. Allah berfirman:
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka, supaya mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum [30]:41).
Ayat ini secara gamblang menghubungkan kerusakan lingkungan dengan perilaku manusia. Namun di sisi lain, ayat ini juga membuka ruang perbaikan, karena manusia diberi kesempatan untuk bertobat, memperbaiki diri, dan mengembalikan keseimbangan alam.
Lebih jauh, Al-Qur’an mengingatkan bahwa Allah menciptakan alam dengan keseimbangan (mīzān).
“Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan mīzān (keseimbangan). Supaya kamu jangan merusak keseimbangan itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi keseimbangan itu.” (QS. Ar-Rahman [55]:7–9).
Ayat ini mengajarkan prinsip ekologi yang mendalam: bahwa alam memiliki keseimbangan yang harus dijaga. Manusia tidak boleh merusaknya, sebab ketidakadilan terhadap alam akan berbalik menjadi ketidakadilan bagi manusia sendiri.
Selain Islam, hampir semua tradisi agama besar memiliki konsep spiritual yang menekankan harmoni manusia dengan alam. Dalam Hindu ada dharma dan ahimsa, dalam Buddha ada interbeing, dalam Kristen ada stewardship. Semua menunjukkan bahwa dalam teks-teks suci terdapat sumber daya teologis untuk membangun ekoteologi.
Kedua, gerakan lingkungan berbasis iman berkembang luas. Paus Fransiskus dengan Laudato Si’ menyerukan perawatan bumi sebagai rumah bersama. GreenFaith mendorong komunitas lintas agama mengambil aksi iklim. Ada pula Islamic Declaration on Climate Change yang mengajak umat Muslim dunia untuk terlibat dalam transisi energi berkeadilan.
Di Indonesia, Muhammadiyah melahirkan EcoBhinneka, Nahdlatul Ulama mengembangkan Fiqh Lingkungan, dan banyak komunitas lintas iman bergerak bersama untuk konservasi.