HUKAMANEWS GreenFaith - Krisis iklim kini bukan lagi sekadar wacana ilmiah, melainkan kenyataan pahit yang setiap hari kita rasakan: banjir, kekeringan, udara beracun, hingga hutan yang kian terkikis. Dalam situasi ini, agama kembali dipertanyakan: apakah ia sekadar alat legitimasi eksploitasi atau justru sumber inspirasi penyelamatan bumi?
Hening Parlan, Koordinator Nasional GreenFaith Indonesia, dalam tulisannya mengingatkan kita bahwa tafsir agama yang keliru dapat melahirkan dominasi manusia atas alam, tetapi di sisi lain, nilai-nilai spiritual lintas tradisi juga menyimpan energi moral yang dahsyat untuk membangun kesadaran ekologis. Pertarungan makna ini menentukan: apakah agama menjadi musuh yang mempercepat kehancuran, atau sahabat sejati yang menuntun umat menjaga bumi sebagai rumah bersama?
Berikut ini catatan lengkapnya:
***
KRISIS LINGKUNGAN dan iklim semakin nyata. Laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change – IPCC, 2023) menegaskan bahwa suhu bumi telah meningkat sekitar 1,1°C dibandingkan era pra-industri, dan bila tren ini berlanjut, dunia berpotensi melewati ambang batas 1,5°C pada dekade 2030-an. Kondisi ini memicu semakin seringnya bencana iklim: banjir besar, kekeringan ekstrem, badai tropis, hingga kebakaran hutan yang meluas.
Di Indonesia, data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tahun 2023 mencatat lebih dari 3.000 kejadian bencana, di mana 98% di antaranya adalah bencana hidrometeorologi yang terkait langsung dengan krisis iklim. Selain itu, KLHK (2022) melaporkan laju deforestasi masih berada pada kisaran 104 ribu hektar per tahun, yang berkontribusi besar pada emisi karbon nasional.
Laporan Global Plastics Outlook (OECD, 2022) juga menyebutkan Indonesia sebagai salah satu penyumbang limbah plastik terbesar ke laut, dengan estimasi sekitar 620 ribu ton per tahun. Angka-angka ini menunjukkan bahwa krisis lingkungan bukan hanya isu global, tetapi juga tantangan nyata di tingkat lokal.
Di tengah situasi ini, peran agama kembali dipertanyakan. Agama sering dipandang ambivalen: ada yang menyebutnya sebagai sumber pembenaran atas eksploitasi alam, sementara yang lain melihat agama sebagai kekuatan moral dan spiritual yang mampu menggerakkan perubahan. Maka, pertanyaan yang muncul adalah: apakah agama musuh atau sahabat lingkungan?
Agama sebagai Musuh Lingkungan
Beberapa kritik menyebut agama justru memperparah krisis lingkungan. Lynn White Jr. dalam esainya yang terkenal tahun 1967, The Historical Roots of Our Ecologic Crisis, berpendapat bahwa tradisi Judeo-Kristen mendorong eksploitasi alam karena manusia dipandang sebagai “tuan” atas ciptaan lainnya. Perspektif ini sering kali melahirkan antroposentrisme, di mana manusia dianggap pusat dan alam sekadar instrumen untuk kesejahteraan manusia.
Dalam konteks Indonesia, praktik keagamaan juga terkadang ikut menyumbang pada kerusakan lingkungan. Misalnya, penggunaan plastik sekali pakai dalam acara keagamaan, perusakan hutan untuk pembangunan rumah ibadah atau pemukiman keagamaan, serta legitimasi eksploitasi tambang oleh organisasi keagamaan. Kritik semacam ini menunjukkan bahwa agama bisa menjadi bagian dari masalah, bila ajarannya disalahpahami atau dipraktikkan tanpa kesadaran ekologis.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam sejarah, agama pernah — dan hingga kini masih — dianggap sebagai bagian dari masalah lingkungan.
Pertama, justifikasi teologis atas eksploitasi alam. Tafsir yang menempatkan manusia sebagai pusat segalanya (antroposentris) membuat alam dianggap hanya sebagai objek untuk dimanfaatkan. Dalam tradisi tertentu, teks suci ditafsirkan sebagai mandat dominasi manusia atas bumi. Hal ini melahirkan pandangan bahwa manusia boleh mengeksploitasi sumber daya alam tanpa batas, dengan alasan itu adalah “anugerah Tuhan” yang harus diambil.
Kedua, keterlibatan lembaga agama dalam praktik yang merusak lingkungan. Contoh aktual di Indonesia adalah pemberian izin usaha pertambangan kepada organisasi keagamaan. Alih-alih menjadi teladan, sebagian lembaga agama justru ikut memperparah kerusakan lingkungan dengan terlibat dalam bisnis ekstraktif. Selain itu, praktik keagamaan tertentu masih menghasilkan polusi, misalnya penggunaan plastik sekali pakai dalam ritual, atau pemborosan energi saat perayaan besar.
Artikel Terkait
Perjuangan Warga Pulau Pari Menolak Tenggelam di Tengah Krisis Iklim
Jadi Gugatan Iklim Pertama di Swiss, Suara Kecil Pulau Pari Menantang Raksasa Semen Holcim
Dari Al Qur’an hingga Laudato Si: Pesan Lintas Iman untuk Pulau Pari
Faith for Pulau Pari: Iman, Keadilan, dan Pertarungan Menolak Tenggelam
Dari Ternate, Muhammadiyah Menyalakan Cahaya Transisi Energi
Ekoteologi dan Krisis Lingkungan: Menemukan Titik Temu Agama dan Bumi
Maulid Nabi dan Tauhid Lingkungan: Meneladani Rasulullah dalam Menjaga Bumi
Inspirasi Hijau dari Masjid Supangat Tuban, Bukti Dakwah Bisa Hadir Lewat Energi terbarukan