HUKAMANEWS GreenFaith - Pulau Pari di Kepulauan Seribu menjadi cermin betapa krisis iklim, abrasi, dan reklamasi bukan sekadar isu lingkungan, melainkan soal hidup dan mati bagi warganya. Di tengah perjuangan itu, perempuan tampil sebagai aktor penting, bukan hanya mengurus keluarga tetapi juga menjaga laut, tanah, dan ruang hidup yang semakin terhimpit. Perlawanan mereka lahir dari pengalaman sehari-hari: mengolah hasil laut, mengelola koperasi, hingga ikut dalam advokasi menolak eksploitasi.
Di titik inilah, Annisa Gendis Nawangsari, intern GEDSI GreenFaith Indonesia, menekankan bahwa suara perempuan bukan pelengkap, melainkan fondasi keadilan ekologis. Perempuan Pulau Pari menunjukkan bahwa keberanian bisa lahir dari dapur, dari perahu kecil, atau dari forum warga. Kisah mereka adalah bukti bahwa keadilan lingkungan dan keadilan gender tidak bisa dipisahkan, sekaligus harapan bagi masa depan Indonesia yang lebih adil dan berkelanjutan.
Berikut ini catatan lengkapnya.
***
PULAU PARI, sebuah pulau kecil di gugusan Kepulauan Seribu, Jakarta, menjadi saksi bisu perjuangan warganya menghadapi ancaman reklamasi, abrasi, dan krisis iklim. Di balik cerita perlawanan itu, terdapat suara-suara perempuan yang seringkali luput dari sorotan. Mereka bukan hanya menjaga keluarga, tetapi juga ikut mempertahankan laut, tanah, dan ruang hidup yang menjadi sumber kehidupan. Dari dapur hingga ruang advokasi, perempuan Pulau Pari memainkan peran penting dalam menjaga harmoni sekaligus menegakkan keadilan. Melihat perjuangan mereka dari perspektif gender membantu kita memahami bahwa isu lingkungan bukan hanya soal alam, tetapi juga soal kehidupan, kesetaraan, dan masa depan bersama.
Perjuangan perempuan Pulau Pari tidak lahir dalam ruang hampa. Ia tumbuh dari realitas sehari-hari di mana ancaman abrasi menggerus pantai, reklamasi mempersempit ruang tangkap nelayan, dan krisis iklim memperburuk ketidakpastian hidup. Dalam kondisi tersebut, perempuan harus berhadapan dengan beban ganda: memastikan keberlangsungan rumah tangga sekaligus mengambil bagian dalam perjuangan komunitas. Hal ini memperlihatkan bahwa perlawanan mereka tidak semata-mata simbolis, tetapi nyata dan berakar pada pengalaman hidup sehari-hari.
Keterlibatan perempuan di Pulau Pari juga berarti membuka ruang untuk melihat bagaimana ketidakadilan lingkungan dan ketidaksetaraan gender saling berkaitan. Pengalaman mereka menunjukkan bahwa perlawanan terhadap perusakan lingkungan tidak bisa dilepaskan dari upaya memperjuangkan hak-hak dasar, termasuk hak atas ruang hidup, hak ekonomi, dan hak untuk didengar. Dengan demikian, memahami perjuangan perempuan Pulau Pari memberikan gambaran lebih utuh mengenai arti penting keadilan ekologis sekaligus keadilan sosial.
Di Pulau Pari sebagian besar perempuan berkontribusi melalui kegiatan yang berhubungan dengan hasil laut, seperti membantu proses pengolahan ikan, mendukung usaha wisata bahari, maupun membuka usaha kecil yang menunjang kebutuhan komunitas melalui koperasi yang mereka miliki. Kelompok Perempuan di Pulau Pari turut menjaga ekosistem pesisir dengan berbagai cara, mulai dari mengelola sumber daya alam secara bijak, memanfaatkan hasil laut untuk kebutuhan rumah tangga, hingga menjadi bagian dari gerakan kolektif yang menolak eksploitasi berlebihan. Keterhubungan ini membuat mereka memiliki kepekaan tinggi terhadap kerusakan lingkungan dan mendorong lahirnya kesadaran ekologis yang berharga bagi komunitas.
Dalam konteks perjuangan iklim, pentingnya keadilan gender menjadi sangat jelas. Ketika perempuan diberi ruang untuk terlibat, maka solusi yang dihasilkan cenderung lebih inklusif dan berpihak pada kelompok rentan. Keadilan gender berarti memastikan bahwa perempuan memiliki akses yang sama untuk menyuarakan pendapat, berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, dan mendapatkan perlindungan dari dampak kerusakan lingkungan. Hal ini tidak hanya memperkuat posisi perempuan, tetapi juga memperluas daya tahan komunitas dalam menghadapi krisis ekologis.
Kisah perempuan Pulau Pari menggambarkan bahwa keadilan ekologis tidak dapat dipisahkan dari keadilan gender. Dengan memberi ruang bagi perempuan untuk berpartisipasi, perjuangan lingkungan menjadi lebih inklusif, berakar pada kebutuhan nyata masyarakat, dan berpihak pada generasi mendatang. Refleksi ini menegaskan bahwa perempuan bukan sekadar pihak yang terdampak, tetapi juga agen perubahan yang mampu menggerakkan solidaritas dan melahirkan inisiatif-inisiatif lokal yang menguatkan daya tahan komunitas.
Perjuangan perempuan Pulau Pari menunjukkan bahwa keberanian tidak selalu lahir di panggung besar, tetapi juga dari langkah-langkah kecil menjaga rumah, laut, dan kehidupan. Mereka adalah bukti bahwa keadilan ekologis tak bisa dipisahkan dari keadilan gender. Jika suara perempuan terus diperkuat, maka perjuangan Pulau Pari bukan hanya milik sebuah pulau kecil, tetapi juga simbol harapan bagi masa depan Indonesia yang lebih adil, setara, dan berkelanjutan.***