HUKAMANEWS GreenFaith - “Kami mungkin kecil di peta, tapi suara kami tidak boleh diabaikan.” Kalimat tegas itu meluncur dari Mustaghfirin, yang lebih akrab disapa Pak Bobi, seorang nelayan sekaligus pejuang lingkungan dari Pulau Pari.
Pak Bobi hadir sebagai pembicara dalam kegiatan Green Youth Quake Training yang digelar Minggu (27/7/2025), oleh GreenFaith Indonesia bekerja sama dengan Enter Nusantara dan Pesantren Ekologi Misykat Al Anwar, di Bogor.
Bobi bukan sekadar tamu, ia adalah saksi hidup dari pergulatan panjang komunitas pesisir yang terdesak oleh krisis iklim, kepentingan korporasi, dan negara yang abai.
Lahir dan besar di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, ia mewarisi tradisi sebagai nelayan generasi kelima. Namun, laut yang dulu memberi kehidupan, kini menjadi sumber kecemasan: abrasi, rob, pencemaran, dan penurunan tangkapan ikan—semuanya karena perubahan iklim dan pembangunan tak terkendali di utara Jakarta.
Warga Pulau Pari tak tinggal diam. Mereka mengubah ancaman menjadi harapan. Ketika laut tak lagi cukup menjamin hidup, mereka membangun pariwisata berbasis komunitas secara swadaya.
Dari semak belukar yang terlantar, warga membersihkan pantai, mendirikan saung, dan membuka rumah bagi wisatawan. Pantai Pasir Perawan, Pantai Bintang, hingga Pantai Rengge kini menjadi wajah baru Pulau Pari, simbol ketahanan sekaligus ketidakadilan.
Namun, di balik pasir putih dan pohon kelapa, bayang-bayang gelap mengintai. Tanah-tanah milik warga diklaim oleh korporasi besar. Bobi dan warga lain menghadapi tekanan, intimidasi, bahkan kriminalisasi. Ia sempat mendekam tujuh bulan di Lapas Cipinang atas tuduhan pemerasan yang belakangan tak terbukti di pengadilan.
“Di dalam penjara, saya bukan hanya tahanan. Saya jadi imam, guru ngaji, bahkan menyaksikan bagaimana sel bisa diperjualbelikan. Penjara itu industri juga,” ujar Bobi, datar namun mengiris.
Puncak perlawanan Bobi dan komunitasnya terjadi pada 2023, ketika ia bersama tiga warga Pulau Pari lainnya menggugat raksasa industri semen asal Swiss, Holcim, di Pengadilan Swiss. Gugatan itu menjadi salah satu kasus gugatan iklim transnasional pertama dari Indonesia.
Mereka menuding Holcim turut bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan melalui emisi karbonnya, yang mempercepat pemanasan global dan mengancam tenggelamnya Pulau Pari.
Di hadapan peserta pelatihan yang sebagian besar adalah anak muda dari berbagai daerah, Bobi berbagi lebih dari sekadar kisah pilu. Ia menyalakan nyala harapan. Diceritakannya bagaimana warga menanam mangrove, membangun kawasan ekowisata, dan mengorganisasi diri agar tak mudah ditekuk oleh kekuasaan dan uang.
Kegiatan yang digelar di Pesantren Ekologi Misykat Al Anwar ini memang bukan sekadar pelatihan, tapi ruang belajar dan merawat empati. Pesantren yang berpijak pada nilai Islam, ekologi, keadilan, dan keberpihakan pada kaum rentan ini menjadi tempat lahirnya dialog kritis antara spiritualitas, aksi iklim, dan keadaban sosial.
Hening Parlan, Direktur GreenFaith Indonesia, dalam sambutannya, menegaskan pentingnya suara komunitas dalam menghadapi krisis iklim.