Di era Presiden Joko Widodo, khususnya periode kedua, situasi kian memburuk. Revisi UU Minerba dan UU Cipta Kerja memperlihatkan bagaimana negara justru memperkuat kekuasaan korporasi. Produksi batubara malah meningkat meskipun dunia sedang menghadapi krisis iklim.
“Pemain besar batubara berada di lingkar kekuasaan. Di sinilah ekstraktivisme jadi makin liar,” jelas Meky.
Situasi yang sama terjadi dalam industri nikel. Ia menyebut bahwa berbagai regulasi di tingkat kementerian hanya memperkuat kepentingan segelintir pihak. Bahkan, sentralisasi kebijakan membuat pemerintah daerah kehilangan kontrol atas tanah dan ruang hidup warganya.
Perempuan dan Perlawanan dari Dapur
Salah satu isu krusial yang diangkat dalam diskusi adalah dampak eksploitasi SDA terhadap perempuan. Di banyak daerah di Indonesia timur, perempuan menjadi penjaga dapur dan sumber pangan keluarga. Namun mereka tidak pernah dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan.
“Selama ini bukan karena perempuan tidak mampu memimpin gerakan. Tapi karena ruang itu ditutup oleh dominasi laki-laki dan struktur sosial adat,” ujar Meky.
JATAM, dalam pengalamannya, justru melihat perempuan sebagai aktor paling tangguh dalam perjuangan melawan tambang, seperti di Dairi dan Sulawesi Utara.
Namun tantangannya nyata. Perlawanan warga seringkali dibungkam dengan kekerasan. Di Maluku, misalnya, tanah bisa diambil alih dengan mudah, dan kematian di lubang tambang dianggap hal lumrah.
Strategi Melawan Ekstraktivisme
Transisi energi yang digaungkan pemerintah justru dikhawatirkan menjadi wajah baru dari neo-ekstraktivisme. Bagi Meky, melawan model pembangunan ugal-ugalan seperti ini tidak bisa dilakukan dengan cara konfrontatif saja. Dibutuhkan strategi cerdas dan gerakan akar rumput yang kuat.
"Narasinya tidak harus selalu 'tolak tambang'. Tapi bisa dimulai dari menyelamatkan jantung ruang hidup masing-masing," ujarnya.
Ia mencontohkan kasus Kendeng di Jawa Tengah yang berhasil membangun perlawanan dari rumah tangga dan dapur. Warga yang merasa memiliki tanah dan ruang hidupnya, akan berani mempertahankannya.
“Kita butuh jejaring kolektif, strategi yang tak melulu berhadapan frontal. Tapi konsisten, cerdas, dan berpihak pada kehidupan,” tutupnya.***