HUKAMANEWS GreenFaith — Dalam diskusi bertajuk “Ekonomi Politik Sumber Daya Alam Indonesia” yang menjadi bagian dari rangkaian acara Green Youth Quake di Pesantren Ekologi Misykat al Anwar, Dramaga, Bogor, Minggu (27/7/2025), Meky Nahar Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menyampaikan analisis tajam tentang betapa rumit dan rapuhnya tata kelola sumber daya alam (SDA) Indonesia.
Acara ini dihadiri oleh 30 pemuda-pemudi Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah dari delapan provinsi dan berlangsung selama lima hari (25–29 Juli 2025), diselenggarakan oleh Greenfaith Indonesia, Enter Nusantara, dan Pesantren Ekologi Misykat al Anwar.
Dalam paparannya, Meky menegaskan bahwa pengelolaan SDA di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari konteks ekonomi politik.
“Tidak ada satu presiden pun yang tidak berkepentingan dalam urusan SDA,” ujarnya.
Menurutnya, seluruh proses pengelolaan SDA—dari hulu hingga hilir—selalu melibatkan kekuasaan dan kepentingan politik yang kuat.
Kutukan SDA di Negeri Kaya Raya
Indonesia, dengan kekayaan SDA yang melimpah, justru kerap terjebak dalam ironi: daerah yang kaya SDA sering kali justru mengalami kebangkrutan sosial dan ekologis.
Kaltim, misalnya, telah mengalami eksploitasi bertahap: mulai dari hutan, kayu, hingga batubara. Namun, yang terjadi bukan kemakmuran, melainkan ketergantungan pangan dan air dari daerah lain serta krisis ekologis akibat lubang-lubang tambang yang tak kunjung direklamasi.
“Ekonomi tambang itu rapuh dan tidak berkelanjutan. Justru menjadi kutukan, bukan berkah,” tegas Meky.
Apa yang disebut ‘pertumbuhan ekonomi’ justru mengorbankan ruang hidup rakyat dan menyebabkan perubahan pola produksi dan konsumsi masyarakat.
Ia mencontohkan Pulau Gebe yang dulu mengandalkan sagu, kini tergantung pada beras akibat migrasi pekerja tambang. Ketika tambang tutup, kehidupan lokal runtuh.
Oligarki, Sentralisasi, dan Ketimpangan
Dalam kajian sejarah politik SDA Indonesia, Meky menyebut empat fase utama: kolonial, orde lama, orde baru, dan reformasi. Namun yang mencolok adalah era pasca-reformasi yang justru menunjukkan betapa kuatnya cengkeraman oligarki.
“Rakyat tidak punya daya tawar. Semua jalur politik sudah dikunci,” katanya.