HUKAMANEWS Greenfaith - Pemadaman listrik total yang terjadi di Bali pada 2 Mei lalu bukan sekadar gangguan teknis biasa.
Insiden ini menjadi pengingat keras tentang rapuhnya sistem ketenagalistrikan di Indonesia, terutama di daerah yang menjadi andalan pariwisata seperti Bali.
Selama hampir 12 jam, pulau yang dikenal sebagai surga wisata dunia itu terjebak dalam kegelapan.
Tak hanya berdampak pada aktivitas sehari-hari, blackout ini juga memicu kekhawatiran serius dari pelaku industri pariwisata.
Baca Juga: Dari Dusun Sangurejo Kita Belajar, Peran Agama dalam Mendorong Aksi Lingkungan yang Nyata
Kenyamanan wisatawan terganggu, keamanan lingkungan jadi rawan, dan yang lebih fatal, citra Bali sebagai destinasi kelas dunia ikut tercoreng.
Momen ini seharusnya menjadi titik balik bagi kebijakan energi nasional.
Sudah saatnya Indonesia, khususnya Bali, meninggalkan ketergantungan pada sistem listrik terpusat yang rentan dan beralih ke energi terbarukan yang lebih mandiri serta berkelanjutan.
Bali Punya Potensi Energi Terbarukan Besar
Bali sebenarnya tidak kekurangan sumber daya untuk mewujudkan kemandirian energi.
Dilansir dari situs Lintas EBTKE, layanan informasi milik Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), potensi energi baru dan terbarukan (EBT) di Bali mencapai lebih dari 2.200 megawatt (MW).
Baca Juga: Di Tengah Ancaman Tambang, Petani Kendeng Rayakan Syawal dan Hari Bumi
Angka ini bukan sekadar potensi di atas kertas, tetapi sumber daya nyata yang belum digarap secara maksimal.
Berikut rincian potensi energi terbarukan di Bali:
- Energi air: 624 MW (termasuk NTB dan NTT)
- Minihidro dan mikrohidro: 15 MW
- Energi surya: 1.250 MW
- Energi angin: 1.019 MW
- Energi panas bumi: 335 MW