“Hutan bukan sekadar sumber ekonomi, melainkan rumah spiritual dan warisan kehidupan bagi generasi mendatang,” katanya penuh semangat.
Dari perspektif inklusivitas, Indah Purwanti Mugianti, Kepala Sekolah SLB Tia di Sawahlunto, mengingatkan bahwa kelompok disabilitas sering kali diabaikan dalam kebijakan lingkungan.
“Kami adalah kelompok paling rentan terhadap dampak perubahan iklim. Harus ada sistem yang lebih inklusif agar kami tidak tertinggal,” tegasnya.
Kolaborasi lintas agama dan kepercayaan dalam acara ini membuktikan bahwa solidaritas dan gotong royong dapat menjadi kunci untuk menghadapi krisis iklim. Indonesia, dengan keragaman agama dan budayanya, memiliki potensi besar untuk menjadi contoh dunia dalam pembangunan rendah karbon. Namun, ini hanya mungkin terjadi jika kita semua—pemerintah, organisasi keagamaan, masyarakat sipil, dan kelompok rentan—bekerja sama dengan semangat inklusivitas dan keadilan.
Pada akhirnya, krisis iklim adalah ujian bagi kemanusiaan. Agama, sebagai sumber moral, harus memimpin kita untuk bertindak. Bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi untuk generasi mendatang. Seperti yang ditunjukkan oleh acara ini, masa depan yang hijau dan berkelanjutan bukanlah mimpi yang mustahil. Asalkan kita bersatu, bergerak, dan bertindak bersama.***