climate-justice

Ketika Trump Pilih Minyak, Dampaknya Terhadap Solidaritas Iklim Global dan Masa Depan Investasi Hijau di Indonesia

Jumat, 24 Januari 2025 | 14:58 WIB
Presiden Amerika Donald Trump membuat keputusan mengejutkan dengan keluar dari Perjanjian Paris.

Indonesia, yang memiliki posisi strategis dalam upaya iklim global, kini menghadapi tekanan untuk meningkatkan kontribusinya di tengah ketidakpastian geopolitik iklim.

Menurut Chris Aylett dari Chatham House, absennya AS seperti "mengangkat tangan dan menyerahkan masalah ini kepada dunia."

Dalam konteks Indonesia, ini berarti negara harus menggandakan upayanya untuk menjaga kredibilitas dan relevansinya di arena internasional. Namun, tanpa dukungan penuh dari negara-negara maju, tugas ini menjadi semakin berat.

Baca Juga: Cek Keunggulan Samsung Galaxy S25 Ultra, Dari Desain Futuristik dan Fitur AI yang Memukau!

Solidaritas Global yang Retak

Keputusan Trump ini menunjukkan bagaimana kepentingan domestik dapat mengesampingkan kepentingan global. Dengan alasan melindungi industri dalam negeri, Trump tidak hanya menolak sains iklim tetapi juga mengorbankan solidaritas internasional.

Padahal, Perjanjian Paris dirancang sebagai perjanjian multilateral yang menuntut komitmen kolektif dari hampir 200 negara untuk menjaga pemanasan global di bawah 1,5 derajat Celsius.

Di Indonesia, solidaritas global sangat penting untuk mencapai target transisi energi berkeadilan. Tanpa komitmen internasional yang kuat, Indonesia berisiko terjebak dalam ketergantungan bahan bakar fosil, sementara dunia terus menghadapi dampak krisis iklim yang semakin parah.

Baca Juga: Deretan Fakta Mengejutkan Usai Rumah Eks Ketum PPP Djan Faridz Digeledah KPK Terkait Kasus Harun Masiku

Meski langkah AS menjadi ancaman bagi upaya global, harapan tetap ada. Uni Eropa dan Cina, sebagai penghasil emisi terbesar dunia, dapat memperkuat peran mereka sebagai pemimpin iklim global. Namun, tanpa kontribusi signifikan dari AS, pencapaian target iklim menjadi lebih sulit.

Bagi Indonesia, saatnya memanfaatkan momentum ini untuk memimpin di kawasan Asia Tenggara dalam transisi energi berkelanjutan. Namun, untuk itu diperlukan kebijakan domestik yang tegas, keberlanjutan pendanaan, dan kemitraan internasional yang kuat.

Indonesia juga harus memperkuat kerangka hukum dan regulasi untuk menarik investasi hijau, sekaligus memastikan bahwa kebijakan energi hijau tetap menjadi prioritas, terlepas dari dinamika geopolitik global.

Baca Juga: Para Perampok yang Bersembunyi di Balik Atribut Kekuasaan

Pada akhirnya, mundurnya AS dari Perjanjian Paris bukan hanya sebuah kebijakan domestik, tetapi juga simbol lemahnya solidaritas global di momen paling kritis dalam sejarah manusia. Keputusan ini menjadi pengingat bahwa perjuangan melawan perubahan iklim tidak boleh hanya bergantung pada satu negara, melainkan harus menjadi tanggung jawab kolektif seluruh dunia.***

Halaman:

Tags

Terkini

Banjir Sumatra dan Krisis Moral Ekologis Bangsa

Sabtu, 6 Desember 2025 | 22:05 WIB

Tragedi Sumatera, Ketika Kesucian Alam Dipertaruhkan

Kamis, 4 Desember 2025 | 14:07 WIB