Indonesia, yang memiliki posisi strategis dalam upaya iklim global, kini menghadapi tekanan untuk meningkatkan kontribusinya di tengah ketidakpastian geopolitik iklim.
Menurut Chris Aylett dari Chatham House, absennya AS seperti "mengangkat tangan dan menyerahkan masalah ini kepada dunia."
Dalam konteks Indonesia, ini berarti negara harus menggandakan upayanya untuk menjaga kredibilitas dan relevansinya di arena internasional. Namun, tanpa dukungan penuh dari negara-negara maju, tugas ini menjadi semakin berat.
Baca Juga: Cek Keunggulan Samsung Galaxy S25 Ultra, Dari Desain Futuristik dan Fitur AI yang Memukau!
Solidaritas Global yang Retak
Keputusan Trump ini menunjukkan bagaimana kepentingan domestik dapat mengesampingkan kepentingan global. Dengan alasan melindungi industri dalam negeri, Trump tidak hanya menolak sains iklim tetapi juga mengorbankan solidaritas internasional.
Padahal, Perjanjian Paris dirancang sebagai perjanjian multilateral yang menuntut komitmen kolektif dari hampir 200 negara untuk menjaga pemanasan global di bawah 1,5 derajat Celsius.
Di Indonesia, solidaritas global sangat penting untuk mencapai target transisi energi berkeadilan. Tanpa komitmen internasional yang kuat, Indonesia berisiko terjebak dalam ketergantungan bahan bakar fosil, sementara dunia terus menghadapi dampak krisis iklim yang semakin parah.
Meski langkah AS menjadi ancaman bagi upaya global, harapan tetap ada. Uni Eropa dan Cina, sebagai penghasil emisi terbesar dunia, dapat memperkuat peran mereka sebagai pemimpin iklim global. Namun, tanpa kontribusi signifikan dari AS, pencapaian target iklim menjadi lebih sulit.
Bagi Indonesia, saatnya memanfaatkan momentum ini untuk memimpin di kawasan Asia Tenggara dalam transisi energi berkelanjutan. Namun, untuk itu diperlukan kebijakan domestik yang tegas, keberlanjutan pendanaan, dan kemitraan internasional yang kuat.
Indonesia juga harus memperkuat kerangka hukum dan regulasi untuk menarik investasi hijau, sekaligus memastikan bahwa kebijakan energi hijau tetap menjadi prioritas, terlepas dari dinamika geopolitik global.
Baca Juga: Para Perampok yang Bersembunyi di Balik Atribut Kekuasaan
Pada akhirnya, mundurnya AS dari Perjanjian Paris bukan hanya sebuah kebijakan domestik, tetapi juga simbol lemahnya solidaritas global di momen paling kritis dalam sejarah manusia. Keputusan ini menjadi pengingat bahwa perjuangan melawan perubahan iklim tidak boleh hanya bergantung pada satu negara, melainkan harus menjadi tanggung jawab kolektif seluruh dunia.***
Artikel Terkait
Anak-Anak di Tengah Krisis Iklim, Mengapa Mereka Jadi Kelompok Paling Rentan?
Penanaman Pohon di Lintang Utara, Solusi Gagal untuk Krisis Iklim
Ed Sheeran Hijaukan Hutan Inggris, Langkah Nyata Musisi Dunia yang Inspiratif
Mangrove Hancur, Ekosistem Laut Terancam: Jeritan Warga Pulau Pari yang Viral di Media Sosial
Mangrove, Solusi Alami Menyelamatkan Bumi dari Krisis Iklim
RUU Keadilan Iklim, Tanggung Jawab Negara yang Tak Bisa Ditunda