Fikih Transisi Energi Berkeadilan, Terobosan Ulama Muda Muhammadiyah untuk Selamatkan Bumi dan Umat

photo author
- Sabtu, 31 Mei 2025 | 20:16 WIB
Ilustrasi. Ulama Tarjih Muhammadiyah gaungkan Fikih Transisi Energi Berkeadilan
Ilustrasi. Ulama Tarjih Muhammadiyah gaungkan Fikih Transisi Energi Berkeadilan

 

HUKAMANEWS GreenFaith  Seruan 'Sebagai khalifah di bumi, kita tidak hanya diminta beribadah, tetapi juga memelihara ciptaan-Nya', bukanlah sekadar petuah spiritual. Ini adalah panggilan zaman yang direspon serius oleh para alumni Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM).

Lewat kajian kritis dan reflektif tentang Fikih Transisi Energi yang Berkeadilan, para ulama muda ini menapaki jalur ijtihad kontemporer dalam menjawab krisis iklim yang kian mendesak.

Kajian daring yang digelar oleh MOSAIC Indonesia, GreenFaith Indonesia, dan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah pada Sabtu, 24 Mei 2025, menjadi ruang dialog sekaligus afirmasi peran agama dalam perubahan sosial dan ekologis.

Diikuti oleh alumni PUTM dari Sumatera Barat dan Jawa Barat, diskusi ini memantik kesadaran kolektif bahwa transisi energi tak bisa semata didekati dengan kalkulasi teknokratik, namun juga lewat lensa etika, teologi, dan keadilan.

“Lebih dari 82 persen masyarakat Indonesia masih menaruh kepercayaan besar kepada para ustaz dan ustazah. Maka, jika mereka bicara soal krisis energi, resonansinya sangat kuat,” ujar Hening Parlan, Koordinator Nasional GreenFaith Indonesia, dalam pembukaannya.

Pusat diskusi bertumpu pada pemaparan Ustaz Qaem Aulassyahied, dosen Ilmu Hadis Universitas Ahmad Dahlan sekaligus anggota Majelis Tarjih. Ia memperkenalkan Buku Fikih Transisi Energi yang Berkeadilan—buah ijtihad kolektif Muhammadiyah yang terbit awal tahun ini.

“Transisi energi tidak hanya tentang mengganti sumber daya, tetapi mengganti cara pandang dari eksploitasi menuju pemeliharaan,” tegas Ustaz Qaem.

Dalam kerangka ini, manusia sebagai khalifah (pemimpin), mujaddid (pembaharu), dan muhsinin (pembuat kebaikan) diminta memakmurkan bumi bukan untuk kepentingan sendiri, melainkan untuk kemaslahatan semesta—termasuk generasi mendatang.

Muhammadiyah, tambahnya, memiliki tiga kekuatan strategis: kebersamaan (al-quwwah jam’iyyah), ilmu (al-quwwah al-‘ilmiyyah), dan semangat tajdid (al-quwwah tajdidiyah). Inilah fondasi gerakan Islam berkemajuan yang membumikan ijtihad fikih dalam spektrum baru—dari fikih wudhu hingga fikih karbon.

Diskusi juga menyinggung realita pelik. Target pemerintah mencapai 23 persen bauran energi terbarukan pada 2025 masih jauh panggang dari api—baru di angka 13,1 persen pada 2023. Komitmen jangka panjang seperti Net Zero Emission 2060 dan skema JETP membutuhkan daya dorong dari institusi sosial, termasuk komunitas keagamaan.

Pada titik ini, konsep keadilan transisi menjadi benang merah. Dalam perspektif Islam, keadilan bukan hanya distribusi ekonomi, tapi keberlanjutan ekologis. Tidak ada pihak yang boleh ditinggalkan, baik masyarakat adat, perempuan, maupun generasi masa depan. Fikih transisi energi bukan sekadar hukum, tapi etika peradaban.***

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Sukowati Utami JI

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Banjir Sumatra dan Krisis Moral Ekologis Bangsa

Sabtu, 6 Desember 2025 | 22:05 WIB

Tragedi Sumatera, Ketika Kesucian Alam Dipertaruhkan

Kamis, 4 Desember 2025 | 14:07 WIB
X