Sementara itu, Krissusandi Gunui, Direktur Institut Dayakologi, menjelaskan bahwa keberadaan masyarakat adat Dayak bertumpu pada tiga pilar utama atau tripotialitas: potensi spiritual, sosial-budaya, dan ekonomi berkelanjutan.
“Ketika salah satu unsur ini hilang, rapuhlah keberadaan masyarakat adat itu sendiri,” ujarnya.
Lebih jauh, Krissusandi memperkenalkan filosofi “Empat Dalam Keselamatan”, pandangan hidup yang menekankan keseimbangan manusia dengan alam dan spiritualitas: manusia tidak akan selamat tanpa pangan, investasi kehidupan, relasi sosial, dan pemenuhan spiritual.
Baca Juga: Indonesia Panas Mendidih, BMKG Catat Suhu Tembus 37,6°C, Waspadai Cuaca Ekstrem hingga Awal November
Ia menegaskan pula pentingnya menjaga “Sapta Basa Dayak" atau tujuh nilai universal kebudayaan Dayak. Adapun tujuh nilai luhur yang menjadi fondasi masyarakat adat Dayak tersebut yakni: keterbukaan terhadap perbedaan, solidaritas rumah panjang, perdamaian dalam keberagaman, keberlanjutan alam, keadilan dalam kebijaksanaan, serta bebasa atau berbudi pekerti luhur. Sedangkan nilai ketujuh yakni spiritualitas Adat.
“Kearifan masyarakat adat Dayak bukan hanya soal menjaga hutan, tetapi menjaga keseimbangan kehidupan itu sendiri,” tutur Krissusandi.
“Bagi kami, alam bukan objek eksploitasi, tetapi subjek kehidupan yang punya jiwa. Karena itu, merusak hutan sama saja dengan merusak hubungan spiritual antara manusia dan pencipta.”
Krissusandi menambahkan, upaya menjaga hutan harus dilandasi oleh penghormatan pada pengetahuan lokal dan hak-hak masyarakat adat yang selama ini menjadi benteng terakhir dari kerakusan manusia.
“Kami percaya, jika iman dan budaya berjalan seiring, maka bumi akan tetap punya harapan,” ujarnya penuh keyakinan.
Suara Bersama untuk Keadilan Iklim
Dialog antara GreenFaith Indonesia dan Institut Dayakologi ditutup dengan kesepakatan untuk memperkuat suara masyarakat adat dalam advokasi kebijakan lingkungan serta mendorong kolaborasi antara iman, budaya, dan ekologi.
“Kami datang bukan hanya untuk bersilaturahmi, tetapi ingin berjalan bersama masyarakat adat. GreenFaith ingin menjadi saudara bagi Dayakologi — saling mendengar, saling belajar, dan memperjuangkan keadilan iklim bersama,” pungkas Hening Parlan.
Di tengah dunia yang terus memanas dan hutan yang kian tergerus, pertemuan di Pontianak ini menjadi pengingat bahwa penyelamatan bumi bukan sekadar urusan teknologi, melainkan panggilan iman dan nurani. Dari hutan-hutan Kalimantan, suara masyarakat adat dan komunitas lintas iman kini bergema sebagai satu seruan: “Jaga hutan, rawat kehidupan.”***
Penulis: Annisa Gendis
Artikel Terkait
From Hashtags to Real Action: It’s Time for Youth to Lead Change
Faith, Climate Crisis, and the Moral Responsibility of Religious Communities
Hening Parlan dan Suara Moral Lintas Iman Menggema di Bangkok Climate Action Week
GreenFaith Indonesia Calls for a Moral Interfaith Voice at the Bangkok Climate Action Week
Pemuda Lintas Iman di Pontianak dan GreenFaith Indonesia Bergerak Wujudkan Rumah Ibadah Ramah Lingkungan
Hijaukan Sekolah, Eratkan Persaudaraan, Eco Bhinneka Muhammadiyah Cetak Pemimpin Muda Peduli Iklim dan Kebhinekaan