Menggugat ke PTUN Jakarta dan Pengadilan Swiss, Warga Pulau Pari Jadi Simbol Perlawanan Krisis Iklim

photo author
- Minggu, 31 Agustus 2025 | 17:42 WIB
Ilustrasi: Sebuah pondok wisata rusak karena tidak dapat digunakan lagi di Pulau Pari, Jakarta, Indonesia, pada Sabtu, 31 Mei 2025. Sebelumnya, pondok tersebut berada di daratan, tetapi kini berada di tengah air.
Ilustrasi: Sebuah pondok wisata rusak karena tidak dapat digunakan lagi di Pulau Pari, Jakarta, Indonesia, pada Sabtu, 31 Mei 2025. Sebelumnya, pondok tersebut berada di daratan, tetapi kini berada di tengah air.

 

HUKAMANEWS GreenFaith - Perjuangan warga Pulau Pari, Kepulauan Seribu, untuk mempertahankan ruang hidup mereka dari ancaman tenggelam akibat krisis iklim kini memasuki dua jalur hukum sekaligus. 

Di tingkat internasional, dua warga Pulau Pari menghadiri sidang gugatan terhadap Holcim, raksasa semen asal Swiss, yang dituding bertanggung jawab atas emisi karbon masif penyebab naiknya permukaan laut. 

Sementara di dalam negeri, warga yang sama juga menggugat pemerintah ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta terkait izin pemanfaatan ruang laut yang dinilai merusak ekosistem perairan di sekitar pulau. 

Holcim, menurut laporan Climate Accountability Institute (2019), termasuk dalam 50 perusahaan penghasil emisi karbon terbesar dunia. Dari 1950 hingga 2016, Holcim diduga bertanggung jawab atas 0,42% total emisi industri global, setara dengan 7 miliar ton CO₂.

“Dampaknya langsung dirasakan warga pesisir, termasuk di Pulau Pari, yang kini setiap tahun menghadapi banjir rob lebih sering,” ujar Parid Ridwanuddin, Manajer Program GreenFaith Indonesia, Minggu (31/8/2025). 

Data Jakarta Research Council (2022) mencatat, Pulau Pari telah mengalami abrasi hingga 11% dalam dua dekade terakhir. Banjir rob kini terjadi rata-rata 8–9 kali dalam setahun, meningkat drastis dari rata-rata 2 kali per tahun pada 1990-an. Naiknya permukaan laut di Teluk Jakarta bahkan diprediksi mencapai 0,57 meter pada 2050 jika tidak ada langkah mitigasi serius (IPCC, 2021). 

“Warga Pulau Pari bukan hanya korban, tetapi juga pionir keadilan iklim. Mereka menuntut pertanggungjawaban korporasi global seperti Holcim sekaligus mendesak pemerintah Indonesia agar tidak memberi karpet merah bagi investor yang justru merusak ekosistem laut,” tambah Parid.

Di PTUN Jakarta, gugatan warga diarahkan pada Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan yang menerbitkan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) untuk aktivitas wisata tertentu di sekitar Pulau Pari. 

Menurut warga, izin tersebut akan memperparah kerusakan ekosistem laut, termasuk padang lamun dan terumbu karang, yang justru berfungsi menahan abrasi dan menjaga keseimbangan lingkungan pesisir. 

“Kami meminta hakim PTUN Jakarta membatalkan PKKPRL tersebut karena jelas-jelas bertentangan dengan prinsip perlindungan lingkungan dan hak masyarakat pesisir,” kata Muhamad Arif, salah satu warga Pulau Pari yang ikut menggugat. 

Kasus ini menyoroti dilema besar yang dihadapi Indonesia: di satu sisi menggaungkan komitmen transisi energi dan adaptasi perubahan iklim, namun di sisi lain tetap membuka ruang bagi eksploitasi lingkungan. 

Sementara itu, di forum internasional, langkah hukum warga Pulau Pari terhadap Holcim menjadi simbol keberanian komunitas lokal menuntut akuntabilitas perusahaan global. 

“Gugatan ini bukan hanya tentang Pulau Pari, tapi tentang masa depan pesisir Indonesia yang terancam tenggelam. Jika pemerintah terus membiarkan izin merusak lingkungan dan perusahaan global terus memproduksi emisi, maka jutaan rakyat pesisir akan kehilangan rumah,” tegas Parid.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Sukowati Utami JI

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Banjir Sumatra dan Krisis Moral Ekologis Bangsa

Sabtu, 6 Desember 2025 | 22:05 WIB

Tragedi Sumatera, Ketika Kesucian Alam Dipertaruhkan

Kamis, 4 Desember 2025 | 14:07 WIB
X