HUKAMANEWS GreenFaith – Lebih dari enam puluh pemuda lintas iman di Kota Ternate berjalan bersama dalam sebuah perjalanan tak biasa. Mereka menapaki lorong sejarah, singgah di gereja, klenteng, hingga kedaton kesultanan. Bukan sekadar kunjungan, melainkan ruang belajar tentang kerukunan, kebersamaan, dan penghormatan atas keberagaman.
Kegiatan bertajuk Tagilom—berarti “berjalan bersama” dalam bahasa Ternate—digelar Eco Bhinneka Muhammadiyah Maluku Utara pada 30 Agustus 2025. Acara ini menjadi puncak program Joint Initiative for Strategic Religious Action yang diinisiasi Muhammadiyah.
“Tagilom ini bertujuan mempelajari peran tokoh lintas agama dan Kesultanan Ternate dalam merawat kerukunan,” ujar Usman Mansur, Regional Manager Eco Bhinneka Muhammadiyah Maluku Utara.
Para peserta berasal dari beragam organisasi, yakni Angkatan Muda Gereja Protestan Maluku, Orang Muda Katolik, Himpunan Mahasiswa Kristen Universitas Maluku Utara, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, hingga Ikatan Pelajar Muhammadiyah dan komunitas lingkungan Anak Muda Sadar Sampah.
Jejak Sejarah dan Nilai Kemanusiaan
Perhentian pertama, Gereja Katolik Santo Willibrordus, gereja tertua di Ternate yang berdiri sejak 1936. Dari bangunan yang berdiri kokoh dengan batu erupsi Gamalama itu, Pastor Titus Rahail mengenang peran gereja sebagai tempat berlindung saat konflik komunal.
“Tak ada yang menang atau kalah dalam konflik. Semua rugi. Tugas kita membangun perdamaian dan menyembuhkan luka,” ujarnya, seraya memberi apresiasi pada inisiatif lintas iman yang digagas Muhammadiyah.
Dari gereja, perjalanan berlanjut ke Klenteng Thian Hou Kiong, saksi sejarah penyebaran agama Khonghucu oleh para pedagang Cina sejak era Laksamana Cheng Ho. Pendeta Khonghucu Js. Boy Ang menekankan nilai kebajikan dan saling menghormati.
“Sesama manusia itu bersaudara. Pengetahuan yang cukup menuntun kita membina diri, lalu membina orang lain,” katanya.
Ia pun mengenang bagaimana klenteng ini turut menampung pengungsi muslim saat konflik 1999.
Di Kedaton Kesultanan Ternate, Sekretaris Kesultanan Irwan Abdul Gani mengingatkan sejarah panjang persaudaraan sejak tahun 1257.
Kesultanan, katanya, selalu terbuka pada berbagai etnis, termasuk Cina, Arab, dan Bugis. Bahkan dalam praktik keagamaan, perayaan Idulfitri kerap dijaga bersama warga Kristen dari Tabanga.
“Toleransi adalah garda terdepan untuk menjaga negeri tetap damai,” tegasnya.
Pesan untuk Generasi Muda
Dr. Makbul A.H. Din, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Maluku Utara, menekankan pentingnya mengaitkan toleransi dengan kepedulian lingkungan. “Keberagaman itu lumrah. Mari berkolaborasi menyelesaikan persoalan lingkungan dan kemanusiaan,” ucapnya.
Artikel Terkait
Suara Perempuan dari Pesantren untuk Keadilan Iklim
Keadilan Ekologis Butuh Riset yang Turun ke Akar Masalah
Perempuan Pulau Pari: Penjaga Laut, Penjaga Kehidupan
GreenFaith Indonesia Raih PAN Award, Menggema Sebagai Pejuang Lingkungan Terdepan
GreenFaith Indonesia dan GPIB Mengikat Komitmen Iman untuk Bumi
Geliat Eco Spiritualitas dalam Menjawab Krisis Lingkungan