Ekofeminisme dan Suara Perempuan di Tengah Krisis Iklim

photo author
- Kamis, 31 Juli 2025 | 07:00 WIB
Ilustrasi. Perempuan menjadi kelompok paling rentan dan menanggung beban yang lebih berat akibat krisis iklim .
Ilustrasi. Perempuan menjadi kelompok paling rentan dan menanggung beban yang lebih berat akibat krisis iklim .

Sebagai tawaran jalan keluar, Maimunah menyodorkan konsep kekuatan bersama (power with): solidaritas lintas tubuh, lintas komunitas, dan lintas spesies. Ini bentuk perlawanan sehari-hari yang tidak selalu revolusioner, tapi konsisten dan terhubung secara etis. Ia mengajak untuk melihat tubuh sebagai bagian dari tanah-air, bukan entitas terpisah.

 “Hubungan tubuh–tanah air adalah bentuk perlawanan harian terhadap relasi kuasa. Ini bukan slogan, tapi praksis hidup,” ungkapnya.

Dalam penutupnya, Siti Maimunah menyerukan pentingnya “berkoalisi dengan alam dan leluhur.” Sebuah ajakan untuk belajar, berpikir, dan bertindak tidak hanya demi masa depan, tetapi demi penyembuhan luka masa lalu yang terus diwariskan oleh sistem yang rakus.

Ekofeminisme bukan sekadar teori, melainkan praksis harian untuk hidup lebih adil, bagi manusia dan seluruh ciptaan. Dalam napas kita, dalam makanan yang kita kunyah, dalam air yang kita minum—di sanalah tubuh kita terhubung dengan tubuh bumi.

“Dan hanya dengan kesadaran itu, kita bisa merawat dunia yang sedang sakit ini,” pungkas Maimunah.*** 

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Sukowati Utami JI

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Banjir Sumatra dan Krisis Moral Ekologis Bangsa

Sabtu, 6 Desember 2025 | 22:05 WIB

Tragedi Sumatera, Ketika Kesucian Alam Dipertaruhkan

Kamis, 4 Desember 2025 | 14:07 WIB
X