Ekofeminisme dan Suara Perempuan di Tengah Krisis Iklim

photo author
- Kamis, 31 Juli 2025 | 07:00 WIB
Ilustrasi. Perempuan menjadi kelompok paling rentan dan menanggung beban yang lebih berat akibat krisis iklim .
Ilustrasi. Perempuan menjadi kelompok paling rentan dan menanggung beban yang lebih berat akibat krisis iklim .

 

HUKAMANEWS GreenFaith - Dalam dunia yang didera krisis multidimensi, mulai dari krisis iklim, ekologi, pangan, energi, sosial, hingga politik, ekofeminisme muncul sebagai lensa kritis yang tidak hanya menyambungkan gejala-gejala itu, tetapi juga menyingkap akar sistemiknya. Ini bukan semata wacana akademik, tapi panggilan sadar untuk melihat kembali relasi antara tubuh, tanah, dan kuasa, terutama bagi perempuan dan komunitas terdampak.

Siti Maimunah dari Mama Aletta Foundation, dalam presentasinya di acara Green Youth Quake yang diselenggarakan oleh Greenfaith Indonesia, Enter Nusantara, dan Pesantren Ekologi Misykat al Anwar pada Sabtu, 26 Juli 2025, menyatakan bahwa sistem ekonomi yang rakus membuat alam dan manusia dianggap murah.

Doktor lulusan Universitas Passau, Jerman ini menegaskan bahwa krisis saat ini bukan hanya ekologis, tapi juga epistemologis dan politis. Pengetahuan, menurutnya, telah lama dikendalikan oleh kekuasaan, sehingga solusi pun kerap dibentuk dari perspektif dominan yang maskulin dan eksploitatif.

“Pengetahuan tidak netral. Ia adalah hasil konstruksi kekuasaan. Di mana ada kekuasaan, di situ ada perlawanan,” kata Maimunah mengutip pemikiran Michel Foucault.

 Maka dari itu, membaca krisis lingkungan hanya sebagai masalah teknis adalah kekeliruan besar. Sebab yang terjadi sesungguhnya adalah ketimpangan relasi kuasa antara manusia dan alam, serta antara laki-laki dan perempuan.

Ekofeminisme memandang bahwa dominasi terhadap perempuan dan perusakan lingkungan berasal dari akar sistem yang sama: patriarki dan kapitalisme. Dalam perspektif ini, tubuh perempuan dan tubuh alam mengalami eksploitasi serupa: bekerja tanpa dihargai, diatur tanpa kuasa, dan dikendalikan untuk kepentingan produksi.

“Kerja manusia yang dibayar murah (umumnya laki-laki), yang tak dibayar (perempuan), dan kerja gratis alam adalah fondasi dari kolonialisme dan kapitalisme,” ujar Maimunah.

Ia mengangkat kembali warisan pandangan masyarakat adat Mollo, yang menyatakan bahwa: “Jika kita menghancurkan alam, kita menghancurkan tubuh kita.” Pernyataan ini bukan metafor, melainkan kenyataan biologis dan spiritual yang dialami komunitas-komunitas yang hidup paling dekat dengan alam.

Data yang dipaparkan Maimunah juga menggemparkan. Setiap tahun, Indonesia menghasilkan 27,74 juta ton sampah, dengan hanya 39 persen yang terkelola. Sebanyak 350 ribu ton plastik bahkan masuk ke laut.

Menurut Maimunah, sampah bukan hanya masalah kota, melainkan simbol kegagalan sistem produksi dan konsumsi yang tak beretika.

Lebih lanjut, ia menyinggung beban kerja perempuan nelayan. “Sekitar 80% perempuan bekerja hingga 14–18 jam per hari, mulai pukul 2 dini hari hingga malam. Ini bentuk penindasan yang berlangsung dalam diam,” tegasnya.

Dalam skema kapitalisme, kerja-kerja merawat, memasak, mencuci, dan mendukung keseharian rumah tangga tidak pernah dihitung sebagai bagian dari ekonomi—padahal menjadi penopang utama kehidupan.

Ekofeminisme menolak cara berpikir tunggal yang disebut Vandana Shiva sebagai monoculture of mind. Ketika keberagaman pandangan direduksi menjadi satu pola pikir dominan, maka solusi pun menjadi reduktif. “Reduksi penglihatan akan menghasilkan reduksi terhadap solusi,” tulis Shiva—dan inilah yang terjadi dalam penanganan krisis iklim dan ekologis dewasa ini.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Sukowati Utami JI

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Banjir Sumatra dan Krisis Moral Ekologis Bangsa

Sabtu, 6 Desember 2025 | 22:05 WIB

Tragedi Sumatera, Ketika Kesucian Alam Dipertaruhkan

Kamis, 4 Desember 2025 | 14:07 WIB
X