Reformasi komunikasi publik harus menjadi prioritas. Pertama, melalui pelatihan khusus yang menanamkan sensitivitas sosial, etika berbahasa, dan pemahaman mendalam atas kebijakan. Kedua, menerapkan mekanisme evaluasi kinerja komunikasi, di mana blunder serius bisa berimplikasi pada jabatan. Ketiga, memastikan bahwa jabatan strategis diisi oleh orang yang bukan hanya pandai bicara, tapi juga menguasai substansi kebijakan dan memiliki empati tulus.
Cermin retak ini tak akan memperbaiki pantulan jika kita hanya mengelap permukaannya. Ia harus diganti dengan kaca baru—dengan pemimpin yang bicara pada rakyat, bukan menantang mereka; yang menenangkan keresahan, bukan menambah luka. Sebab di balik setiap kata yang diucapkan pejabat publik, ada harga diri bangsa yang dipertaruhkan.***