Reformasi komunikasi publik harus menjadi prioritas. Pertama, melalui pelatihan khusus yang menanamkan sensitivitas sosial, etika berbahasa, dan pemahaman mendalam atas kebijakan. Kedua, menerapkan mekanisme evaluasi kinerja komunikasi, di mana blunder serius bisa berimplikasi pada jabatan. Ketiga, memastikan bahwa jabatan strategis diisi oleh orang yang bukan hanya pandai bicara, tapi juga menguasai substansi kebijakan dan memiliki empati tulus.
Cermin retak ini tak akan memperbaiki pantulan jika kita hanya mengelap permukaannya. Ia harus diganti dengan kaca baru—dengan pemimpin yang bicara pada rakyat, bukan menantang mereka; yang menenangkan keresahan, bukan menambah luka. Sebab di balik setiap kata yang diucapkan pejabat publik, ada harga diri bangsa yang dipertaruhkan.***
Artikel Terkait
10.000 Ton Beras untuk Palestina, Stunting di Negeri Sendiri
DPR, KPK, dan Pertarungan Senyap di Balik Revisi KUHAP
Mengukur Kemiskinan, Melupakan Kemanusiaan: Paradoks Statistik dan Realitas Rakyat
Amnesti Hasto dan Abolisi Tom Lembong, Ketika Jalan Pintas Kekuasaan Menelikung Etika Hukum
Mafia Skincare, Kosmetik Ilegal, dan Wajah Kusam Penegakan Hukum di Indonesia