analisis

Sudewo dan Cermin Retak Empati Pejabat Publik di Era Prabowo

Kamis, 14 Agustus 2025 | 18:47 WIB
Demnstrasi besar-besaran warga Pati, jawa Tengah. menuntut Bupati Sudewo mundur dari jabatannya.

HUKAMANEWS - Pernyataan Bupati Pati, Sudewo, yang menantang warga di tengah protes kenaikan PBB-P2 hingga 250 persen, memantik kemarahan luas. Ini bukan sekadar soal pajak, tetapi soal rapuhnya empati pemimpin terhadap rakyat. Dari Nusron Wahid dengan “tanah milik negara”-nya hingga pejabat lain yang melontarkan komentar serampangan, kita melihat pola krisis komunikasi yang menggerus kepercayaan di era pemerintahan Prabowo.

Pengamat hukum dan politik Dr. Pieter C Zulkifli, SH., MH., dalam catatan analisis politiknya mengingatkan bahwa ucapan pejabat adalah wajah negara. Jika tergelincir sedikit saja, citra kepemimpinan ikut runtuh. Mantan Ketua Komisi III DPR RI ini menyebut, Sudewo hanyalah satu serpihan dari “cermin retak” kekuasaan yang lupa bahwa jabatan adalah amanah, bukan privilese untuk merendahkan. Berikut catatan lengkapnya.

***

UNJUK RASA besar yang mengguncang Kabupaten Pati pada Rabu (13/8/2025) bukan sekadar kemarahan atas kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250 persen. Aksi itu meletup karena satu hal yang lebih dalam: pernyataan Bupati Sudewo yang dianggap menantang warga. Dari ruang rapat DPRD hingga jalan-jalan protokol, suara pemakzulan menggema. Rakyat merasa harga dirinya diinjak, bukan hanya dompetnya.

Fenomena ini mengingatkan kita pada pola lama: pejabat publik yang alpa membaca emosi rakyat, lalu tergelincir dalam komunikasi yang arogan, meremehkan, atau bahkan menyinggung martabat publik. Sudewo hanya satu dari deretan panjang pejabat yang tersandung lidahnya sendiri.

Belum lama ini, Menteri ATR/BPN Nusron Wahid memicu amarah nasional ketika menyatakan “seluruh tanah rakyat milik negara”. Meski kemudian meminta maaf dan mengklarifikasi bahwa yang ia maksud adalah lahan berstatus HGU atau HGB yang terbengkalai, kata-kata itu terlanjur menorehkan luka. Bagi banyak orang, ucapan tersebut bukan sekadar salah bicara, melainkan salah pikir—mengaburkan batas antara “dikuasai” dan “dimiliki” oleh negara. Dalam konteks sejarah agraria Indonesia yang sarat konflik, kekeliruan seperti ini ibarat menuang bensin ke bara yang menyala.

Presiden Prabowo, lewat juru bicaranya, mengimbau agar pejabat di semua tingkatan berhati-hati berbicara. Tapi imbauan saja tak cukup jika yang duduk di kursi kekuasaan tak punya disiplin etis dan kepekaan sosial. Kasus Nusron dan Sudewo memperlihatkan rapuhnya standar itu.

Sayangnya, pola ini tak berhenti di sana. Kita masih ingat bagaimana Kepala Badan Gizi Nasional Dadan Hindayana menyebut Timnas Indonesia sulit bersaing karena pemainnya “kurang gizi” dan “lahir di kampung”. Atau Wakil Menteri Ketenagakerjaan Noel Ebenezer yang merespons fenomena KaburAjaDulu dengan ucapan “kalau mau kabur, jangan balik lagi”. Ada pula Wakil Menteri Agama Romo Syafi’i yang menilai ormas meminta THR ke pengusaha sebagai “budaya Lebaran”, seolah praktik memalak bisa dilegalkan.

Tak ketinggalan, Kepala Staf TNI AD Jenderal Maruli Simanjuntak yang melabeli pengkritik RUU TNI sebagai “otak kampungan”, dan Kepala Kantor Kepresidenan Hasan Nasbi yang menyarankan kepala babi—teror untuk jurnalis—“dimasak saja”. Semua ini menunjukkan satu gejala serius: krisis komunikasi pejabat publik yang berakar pada krisis empati.

Komunikasi publik bukan sekadar menyampaikan informasi. Ia adalah instrumen membangun kepercayaan dan legitimasi. Kata-kata pejabat bukan hanya milik pribadi, tetapi mewakili negara, kebijakan, dan citra pemerintahan. Dalam iklim demokrasi yang sensitif terhadap isu keadilan, tanah, dan martabat, kesalahan bicara dapat memantik krisis politik yang tak perlu.

Masalahnya, banyak pejabat tampaknya lebih piawai beretorika di panggung politik ketimbang mendengar suara rakyat. Mereka cepat defensif, gemar melontarkan analogi yang tak relevan, dan kadang tergoda untuk melontarkan candaan yang melukai. Mereka lupa bahwa ucapan pejabat publik selalu dibaca dalam kerangka kekuasaan: siapa berbicara, kepada siapa, dalam konteks apa.

Dr. Pieter C Zulkifli, SH. MH.

Kasus Sudewo adalah cermin retak yang memantulkan wajah problematis pejabat kita: kebijakan yang membebani rakyat disampaikan dengan nada menantang. Di titik ini, kritik publik tak lagi sekadar soal kebijakan, tapi tentang moral kepemimpinan. Rakyat bisa menerima kesulitan ekonomi jika pemimpinnya menunjukkan integritas, empati, dan kesediaan berdialog. Yang tak bisa diterima adalah kesombongan di tengah penderitaan.

Kita butuh pejabat publik yang mengerti bahwa kata-kata bisa menyembuhkan atau melukai, membangun atau meruntuhkan kepercayaan. Presiden Prabowo, yang mewarisi janji besar soal keberpihakan pada rakyat, tak bisa membiarkan standar komunikasi pejabatnya merosot seperti ini. Evaluasi menyeluruh perlu dilakukan, bukan sekadar imbauan untuk “hati-hati bicara”.

Halaman:

Tags

Terkini

Membenahi Gagap Nalar Peradilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:37 WIB

Bandara IMIP dan Hilangnya Kedaulatan Negara

Kamis, 27 November 2025 | 15:06 WIB

Rapuhnya Integritas “Wakil Tuhan di Muka Bumi”

Senin, 27 Oktober 2025 | 10:00 WIB

DPR dan Mutu Rendah Legislasi

Senin, 13 Oktober 2025 | 07:00 WIB

Jalan Terjal Mengembalikan Akal Sehat Kekuasaan

Senin, 6 Oktober 2025 | 12:00 WIB

“Mental Stunting” Pejabat

Sabtu, 13 September 2025 | 09:00 WIB

Keadilan Fiskal dan Martabat Demokrasi

Senin, 8 September 2025 | 11:00 WIB

Menyulam Tenun Kebangsaan, Menjaga Indonesia

Rabu, 3 September 2025 | 22:00 WIB