HUKAMANEWS - Usulan pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka bukan sekadar gagasan politik biasa, melainkan sebuah ancaman serius terhadap stabilitas demokrasi dan konstitusi bangsa. Di tengah derasnya narasi yang dibungkus seolah-olah demi kepentingan rakyat, justru tersembunyi kepentingan sempit yang bisa menyesatkan arah reformasi.
Pengamat hukum dan politik Dr Pieter C Zulkifli, SH., MH., dalam catatan analisis politiknya menegaskan bahwa langkah tersebut sangat berbahaya jika tidak dilandasi bukti hukum yang kuat, karena berpotensi menjadi upaya makar terselubung. Mantan Ketua Komisi III DPR RI ini berpesan, kritik terhadap kekuasaan memang perlu, tapi bukan berarti segala ketidaksukaan bisa dijustifikasi dengan dalih pemakzulan. Berikut catatan lengkapnya.
***
USULAN pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka adalah salah satu ide paling berbahaya yang pernah muncul dalam lanskap demokrasi Indonesia pasca-Reformasi. Ia bukan hanya sembrono secara hukum, tapi juga berpotensi mengoyak kepercayaan publik terhadap konstitusi dan stabilitas politik nasional. Dalam konteks ini, surat dari Forum Purnawirawan TNI yang secara terbuka mendesak MPR untuk memakzulkan Wapres Gibran patut dipertanyakan niat dan arah politiknya.
Dalam demokrasi, gagasan memang tak pernah dilarang. Namun tidak semua gagasan layak diperjuangkan. Ketika usulan pemakzulan diajukan tanpa dasar hukum yang sahih, tanpa skandal besar yang tak terbantahkan, tanpa pelanggaran berat konstitusi oleh sang Wapres, maka itu bukan sekadar wacana, melainkan potensi ancaman terhadap sistem ketatanegaraan kita. Ini adalah bentuk kriminal terhadap Konstitusi.
Demokrasi memang memberi ruang untuk kritik dan koreksi. Tetapi ketika narasi yang dibangun adalah untuk melawan kehendak rakyat yang telah disahkan oleh Komisi Pemilihan Umum, diperkuat oleh Mahkamah Konstitusi, dan ditegaskan oleh MPR—maka sejatinya, kita sedang menghadapi gerakan politik yang menolak tunduk pada hukum tertinggi negara. Kita patut curiga, bahwa ini bukan soal konstitusi, tapi soal kekuasaan. Bukan demi negara, tapi demi ambisi.
Dalam konteks ini, surat para purnawirawan TNI itu bisa menjadi bukti sikap anti demokrasi dan melawan konstitusi. Para elit politik tidak perlu merespon surat purnawirawan tersebut. Tindakan seperti ini mereka akan memicu disharmoni politik, menggoyang kepercayaan publik, dan memecah konsentrasi pemerintah yang tengah bersiap melanjutkan pembangunan. Dinamika politik harus tetap selaras agar pembangunan bisa berjalan. Jangan seperti anak kecil—nggak suka, minta makzulkan; nggak cocok, ajukan pemakzulan. Kapan negara ini akan maju?
Apa jadinya jika tiap ketidaksukaan politik dibalas dengan narasi pemakzulan? Demokrasi kita akan menjadi dagelan. Etika kenegaraan runtuh. Konstitusi akan menjadi sekadar kertas tanpa wibawa.
Perlu ditegaskan bahwa kekuasaan politik harus tunduk pada konstitusi, bukan sebaliknya. Hukum tidak boleh melayani syahwat kekuasaan. Jika elite bangsa ini masih juga menjadikan hukum sebagai alat politik, maka selama itu pula rakyat tak akan pernah cerdas, tak akan pernah sejahtera. Sebab, mereka dibesarkan dalam budaya kebohongan yang dilanggengkan oleh elite yang tak punya tanggung jawab sosial terhadap bangsanya sendiri.
Etika Demokrasi
Socrates pernah berkata, "Demokrasi tanpa pendidikan politik yang baik dan benar, maka suara rakyat menjadi dogma berbahaya." Dan itulah yang kini terjadi—narasi politik berkembang tanpa nalar, didorong oleh emosi dan dendam kekuasaan, bukan oleh akal sehat dan kebajikan publik.
Kecerdasan rakyat akan lahir bila elit memberi teladan integritas. Sayangnya, sebagian elit politik kita hari ini menunjukkan bahwa mereka lebih haus kekuasaan ketimbang ingin membangun bangsa. Mereka lancang memakai pangkat dan gelar purnawirawan sebagai tameng moral, padahal substansi aksinya bertolak belakang dengan semangat kenegarawanan: mengacaukan stabilitas politik yang baru tumbuh. Narasi pemakzulan tanpa data hanyalah distraksi yang menguras energi bangsa, menunda agenda besar reformasi hukum, perbaikan ekonomi, hingga penanganan kemiskinan.
Maka Presiden Prabowo Subianto harus jeli. Harus tahu mana yang benar-benar baik, dan mana yang hanya berpura-pura baik. Presiden harus bersikap tegas. Ia tidak boleh membiarkan pemerintahan lima tahun ke depan dikacaukan oleh kepentingan politik yang menyaru dalam wajah patriotisme semu. Prabowo harus dikelilingi oleh orang-orang yang setia, cerdas, dan taktis. Lima tahun ke depan adalah momentum untuk membersihkan negara ini dari para penyamun yang bersembunyi di balik simbol kehormatan dan retorika palsu.
Indonesia tak kekurangan kritik. Yang langka adalah kritik yang jernih, berbasis fakta, dan berorientasi solusi. Pemakzulan tanpa fakta justru menciptakan trauma politik berkepanjangan. Pembangunan jalan cepat, reforma agraria, hilirisasi nikel—semua terancam tersendat bila panggung nasional terus dipenuhi drama konstitusional.