HUKAMANEWS - Penundaan Kongres PDIP memunculkan spekulasi liar tentang arah dan masa depan partai berlambang banteng moncong putih itu. Bukan hanya soal strategi, tapi juga cermin dari krisis regenerasi dan kepanikan elite menghadapi perubahan lanskap politik nasional.
Dalam catatan analisis politiknya, pengamat hukum dan politik, Dr. Pieter C Zulkifli, SH., MH., menilai bahwa langkah Megawati ini justru memperlihatkan ketidaksiapan menghadapi dinamika politik baru pasca Pilpres 2024, terutama ketika Jokowi dan PSI mulai membangun kekuatan politik alternatif. Mantan Ketua Komisi III DPR RI ini menyebut bahwa kegamangan Megawati terhadap RUU Perampasan Aset juga mempertegas ambivalensi PDIP dalam pemberantasan korupsi—antara keberpihakan pada kepentingan rakyat atau perlindungan pada jejaring kekuasaan yang mulai rapuh. Berikut ini catatan lengkapnya.
***
KONGRES adalah detak jantung dari sebuah partai politik. Ia bukan sekadar seremoni lima tahunan, melainkan momen pertaruhan ideologi, regenerasi, dan arah perjuangan. Namun apa jadinya jika jantung itu sengaja ditahan detaknya?
Itulah yang kini terjadi di tubuh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Kongres yang semestinya digelar pada 2024, lalu ditunda ke April 2025, kembali digeser ke Juni, dan kini kembali tanpa kepastian. Alasan klise yang dilempar ke publik: belum siap. Namun publik yang jeli melihat, bisa membaca lebih jauh. Ini bukan semata penundaan administratif, melainkan penanda ketakutan yang mengakar.
PDIP tengah berada di persimpangan sejarah. Di satu sisi, partai ini pernah menjadi simbol kekuatan rakyat pascareformasi, rumah ideologi yang mencetak pemimpin nasional. Tapi di sisi lain, ia kini justru tampak ragu melangkah ke masa depan. Ketakutan terbesar PDIP bukan pada lawan politik, melainkan pada satu nama: Joko Widodo.
Hubungan Megawati dan Jokowi yang dulunya mesra, kini retak menjadi jurang politik. Megawati seperti kehilangan kendali atas seorang kader yang pernah dibesarkannya. Jokowi, yang dua kali menang pemilu lewat PDIP, kini justru disebut-sebut merapat ke Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Dan isu ini bukan sekadar rumor. Jika benar Jokowi mengambil alih PSI dan membukanya menjadi partai yang lebih modern dan meritokratis, ancaman nyata sedang menanti PDIP: eksodus loyalis.
Tidak heran bila Megawati terkesan menahan waktu. Kongres bukan sekadar agenda formal, melainkan arena pertarungan eksistensial: siapa yang akan memegang tongkat estafet partai? Puan Maharani? Prananda Prabowo? Atau nama lain di luar lingkaran darah?
Namun, di tengah semua kegamangan itu, ada hal yang lebih meresahkan: arogansi. Megawati dalam beberapa pidatonya menuduh ada "penyusup" dalam partai, menyiratkan seolah dirinya dikhianati. Tapi publik tahu, permainan dua kaki bukan dilakukan oleh orang asing, melainkan oleh elite PDIP sendiri. Penyusup sesungguhnya lahir dari rumah sendiri, ketika kader dibiarkan bermain aman di dua kutub kekuasaan.
Yang lebih ironis, Megawati juga gamang terhadap rencana pengesahan RUU Perampasan Aset dengan dalih "rawan penyimpangan dan manipulasi". Sebuah pernyataan yang mengundang tanya: benarkah ini soal kehati-hatian legislasi, atau justru refleksi rasa was-was bahwa RUU tersebut akan membuka borok kelompok sendiri? Kasus BTS Kominfo telah menyeret nama elite PDIP dalam kesaksian sejumlah saksi. Meski belum menjadi terdakwa, sinyal ini cukup kuat untuk menampar klaim bersih-bersih korupsi yang kerap digaungkan sang ketua umum.
Megawati sering berbicara tentang Pancasila dan moralitas bangsa. Tapi jika kita menarik garis lurus dari ucapan ke tindakan, publik justru dihadapkan pada ketimpangan. Di satu sisi, Pancasila dielu-elukan sebagai dasar negara, tapi di sisi lain partai dijalankan dengan logika feodal dan dinasti. Regenerasi disumbat, kader muda dikandangkan, dan politik dijalankan dalam ruang sempit loyalitas personal.
Yang membuat miris adalah kecenderungan Megawati mengklaim demokrasi dan kemerdekaan sebagai warisan eksklusif dari dirinya dan Bung Karno. Padahal sejarah bangsa ini tidak lahir dari satu tokoh. Soekarno bukan satu-satunya pejuang. Ia berdiri bersama Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, para ulama, dan jutaan rakyat kecil yang tak pernah tercatat namanya di buku sejarah.
PDIP kini menghadapi ujian besar. Bukan hanya soal regenerasi, tapi soal keberanian untuk berubah. Partai ini punya banyak kader cerdas dan muda. Tapi selama ruang itu hanya dibuka untuk keluarga trah Soekarno, jangan harap PDIP akan mampu menjawab tantangan zaman.