Justru saat ini bangsa ini lebih membutuhkan suasana tenang untuk memulai transisi pemerintahan dengan baik. Fokus utama mestinya bukan pada tarik-menarik kursi kekuasaan, tapi bagaimana pemerintahan baru bisa menjawab tantangan ekonomi, ketimpangan sosial, dan situasi geopolitik yang kian mencekam.
Kritik tetap penting. Bahkan harus. Namun, kritik yang membangun bukan yang menyeret institusi ke tengah badai, apalagi menggiring publik pada ilusi bahwa semua hasil demokrasi bisa dibatalkan hanya karena tidak sesuai dengan harapan sebagian pihak.
Para purnawirawan yang kini tampil di ruang publik sesungguhnya memiliki posisi istimewa. Dengan pengalaman, reputasi, dan kebijaksanaan yang mereka miliki, kontribusi strategis bisa diberikan dalam bentuk nasihat, evaluasi, dan pemikiran kebangsaan yang mencerahkan. Bukan dalam bentuk tuntutan emosional yang berpotensi memecah belah.
Bangsa ini tidak kekurangan masalah: tantangan ekonomi, ketimpangan sosial, krisis iklim, hingga tekanan geopolitik global. Yang dibutuhkan justru ketenangan politik dan kepemimpinan yang transformatif. Bukan kegaduhan baru yang hanya memperpanjang deret frustrasi publik terhadap elite.
Seperti dikatakan Aristoteles, “Orang yang terus mencari kesalahan orang lain akan kehilangan waktunya untuk memperbaiki dirinya sendiri.” Dalam konteks ini, energi bangsa semestinya diarahkan pada pembenahan masa depan, bukan pengulangan sengketa masa lalu.
Transisi pemerintahan adalah momen penting untuk meletakkan fondasi baru yang lebih kuat. Sedangkan tugas kekuasaan bukan memperbaiki kesalahan di masa lalu, tetapi memperbaiki arah untuk masa depan. Baik pemerintah yang akan datang, maupun para tokoh bangsa, memiliki tanggung jawab yang sama: menjaga marwah demokrasi, merawat ketenangan publik, serta membangun kepercayaan rakyat terhadap sistem.
Karena pada akhirnya, bangsa ini tidak butuh kegaduhan tambahan. Yang kita butuhkan adalah pemimpin yang bekerja, elite yang bijak, dan rakyat yang diberi ruang untuk berharap.***