HUKAMANEWS - Di tengah upaya bangsa menata transisi pemerintahan, publik kembali disuguhi drama politik yang tak perlu. Sekelompok purnawirawan TNI menyerukan pemecatan Gibran Rakabuming Raka dari posisi wakil presiden terpilih.
Pengamat hukum dan politik Dr. Pieter C Zulkifli, SH., MH., dalam catatan analisis politiknya menilai, tudingan pelanggaran administratif yang dijadikan alasan pemecatan terasa lebih politis ketimbang yuridis. Mantan Ketua Komisi III DPR ini menyayangkan sikap para purnawirawan TNI tersebut. Di saat negeri ini membutuhkan ketenangan dan arah yang jelas, justru mereka yang harusnya jadi sosok panutan memilih menabuh genderang kegaduhan.
***
AKHIR-akhir ini ruang publik kembali dipenuhi kegaduhan politik yang, alih-alih membawa pencerahan, tapi justru menebalkan kabut perpecahan. Sekelompok purnawirawan TNI—yang seyogianya menjadi contoh ketenangan dan kebijaksanaan—malah turut serta dalam pusaran hiruk-pikuk dengan melayangkan tuntutan pemecatan Wakil Presiden terpilih, Gibran Rakabuming Raka. Dalih yang digunakan pun tampak dipaksakan: pelanggaran administratif dalam proses pencalonan.
Tentu kita tidak menutup mata terhadap pentingnya etika dan hukum dalam kontestasi politik. Namun, saat sebuah gugatan kehilangan proporsinya, bahkan terkesan mengada-ada, maka yang muncul bukanlah keadilan, melainkan kegaduhan. Kita justru patut bertanya: untuk siapa sebenarnya tuntutan ini diajukan?
Menyeret Institusi ke dalam Politik
Sebelumnya sejumlah purnawirawan yang tergabung dalam Forum Purnawirawan Prajurit TNI menyampaikan tuntutan terbuka kepada Prabowo Subianto selaku Presiden terpilih. Dalam pernyataan tersebut, mereka mendesak agar Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengambil langkah mengganti Wakil Presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka, dengan dalih bahwa proses pencalonannya dianggap melanggar hukum.
Yang menarik, penandatangan tuntutan itu bukan figur sembarangan. Di antara mereka terdapat nama mantan Wakil Presiden keenam RI Jenderal TNI (Purn) Try Sutrisno, serta sejumlah tokoh militer berpengaruh seperti mantan Menteri Agama Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi, mantan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal TNI (Purn) Tyasno Soedarto, mantan Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana TNI (Purn) Slamet Soebijanto, hingga mantan Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal TNI (Purn) Hanafie Asnan.
Forum ini mengklaim mewakili ratusan purnawirawan, mulai dari jenderal bintang empat hingga kolonel. Kehadiran mereka membawa bobot simbolik tersendiri. Namun justru di situlah tantangannya. Ketika tokoh-tokoh yang pernah menduduki posisi strategis dalam pertahanan negara ikut mendorong narasi penggantian wapres yang telah dipilih melalui mekanisme konstitusional, publik akan bertanya: apakah ini murni kegelisahan moral, atau ada arus bawah tanah politik yang sedang bergerak?
TNI sebagai institusi sejatinya telah menetapkan garis tegas: netral dalam politik praktis. Maka ketika para purnawirawan yang notabene masih memiliki jejaring kuat dalam tubuh militer bersikap seolah menjadi oposisi formal terhadap hasil pemilu, publik bisa menilai ini bukan hanya soal hukum, tapi juga manuver politik. Dan celakanya, manuver semacam ini hanya menambah runyam suhu demokrasi yang sedang rapuh.
Yang lebih disayangkan, gugatan terhadap Gibran tidak hanya menyasar pribadi, tetapi juga menyeret keabsahan proses pemilu secara keseluruhan. Padahal Mahkamah Konstitusi—lembaga tertinggi dalam urusan sengketa pemilu—telah memutus perkara ini. Meskipun kita bisa memperdebatkan kualitas moral atau etik suatu keputusan, namun dalam tatanan negara hukum, putusan MK adalah final dan mengikat.
Kritik yang Membangun, Bukan Mengoyak
Demokrasi memang tidak menjamin hasil yang memuaskan semua pihak. Tapi demokrasi menuntut kedewasaan menerima hasilnya, sekalipun pahit. Apabila setiap ketidakpuasan direspons dengan seruan pemecatan atau delegitimasi, maka kita sedang menggali lubang bagi kehancuran sistem itu sendiri.