HUKAMANEWS – Pengesahan Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) menjadi UU oleh DPR pada Kamis 20 Maret 2025, memantik perdebatan panas di tengah masyarakat. Dengan usulan perluasan jabatan sipil bagi prajurit aktif, UU TNI ini dianggap mengancam semangat reformasi 1998 yang memisahkan peran militer dari urusan sipil. Prabowo Subianto, sebagai pemimpin nasional dan mantan jenderal, berada di persimpangan sulit: antara menjaga hubungan dengan TNI dan memastikan demokrasi tidak mundur ke belakang.
Pengamat hukum dan politik Dr Pieter C Zulkifli, SH., MH., dalam tulisan analisis politiknya mewanti-wanti Presiden Prabowo untuk lebih cermat membaca situasi agar tidak terjebak dalam permainan elite politik yang bisa mengancam stabilitas pemerintahannya. Mantan Ketua Komisi III DPR menduga ada gerakan politik terselubung yang berpotensi mendelegitimasi kekuasaannya. Berikut ini catatan lengkapnya.
***
SEJARAH kerap menjadi saksi bagaimana bangsa ini menghadapi dilema antara kepentingan kekuasaan dan semangat reformasi. Saat ini, kita kembali dihadapkan pada sebuah kebijakan yang memantik kontroversi, yakni pengesahan Rancangan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Salah satu isu yang paling mengundang kegelisahan publik adalah perluasan cakupan jabatan sipil yang boleh diisi oleh prajurit TNI aktif. Dari sebelumnya hanya 10 institusi, kini diusulkan menjadi 15. Beberapa lembaga tambahan yang dimasukkan, seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Kejaksaan Agung, menimbulkan tanda tanya besar: apakah ini masih sejalan dengan semangat reformasi?
Sejak reformasi 1998, kita sepakat bahwa TNI harus kembali ke barak dan fokus pada tugas utamanya, yaitu pertahanan negara. Reformasi TNI dengan tegas menolak keterlibatan prajurit aktif dalam urusan sipil. Namun, RUU TNI justru memberi ruang bagi TNI untuk kembali mengisi posisi strategis di kementerian dan lembaga sipil. Hal ini berbahaya, bukan hanya bagi demokrasi, tetapi juga bagi legitimasi kekuasaan itu sendiri.
Bahaya Pola Pikir Post-Factum
Salah satu aspek yang mengundang kekhawatiran adalah bagaimana kebijakan ini dibuat dengan pola pikir post-factum—sesuatu yang sudah dilakukan terlebih dahulu, lalu baru dicari dasar hukumnya. Karena, sejak era pemerintahan Presiden Joko Widodo, penempatan prajurit TNI aktif di kementerian dan lembaga sudah berjalan, hanya saja kini diperlukan legitimasi formal dalam UU TNI yang baru.
Pendekatan ini jelas berbahaya. Kebijakan semestinya dibuat berdasarkan kajian mendalam sebelum diimplementasikan, bukan sebaliknya. Jika cara berpikir ini terus digunakan, maka akan ada banyak kebijakan lain yang justru mengikis prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi hukum.
UU TNI ini juga menempatkan Presiden Prabowo Subianto dalam posisi sulit. Di satu sisi, ia adalah seorang mantan jenderal yang tentu memiliki kedekatan emosional dengan TNI. Namun, di sisi lain, ia juga adalah pemimpin nasional yang harus memastikan bahwa reformasi tidak berjalan mundur.
Banyak pihak menentang revisi ini, bukan karena ingin membatasi peran TNI, tetapi karena khawatir akan kembali pada masa lalu ketika militer begitu dominan dalam pemerintahan sipil. Prabowo harus cermat membaca situasi ini. Jika salah langkah, bukan hanya kebijakan ini yang akan dipersoalkan, tetapi juga kepemimpinannya secara keseluruhan.
Di Senayan, RUU ini memang sudah diajukan sejak era Presiden Jokowi. Namun, mengapa baru sekarang muncul gelombang penolakan besar? Mengapa ketika Polri masih banyak ditempatkan di lembaga negara, tidak ada protes sebesar ini? Ada indikasi bahwa ada pihak yang mencoba memanfaatkan isu ini untuk mendelegitimasi kepemimpinan Prabowo.
Gerakan di Balik Layar
Dalam situasi politik yang dinamis, muncul spekulasi bahwa ada gerakan di balik layar untuk menggoyang kekuasaan Prabowo. Bisa jadi, ini adalah permainan elite politik dan intelijen tertentu yang ingin menciptakan instabilitas di awal pemerintahannya.