HUKAMANEWS - Korupsi di negeri ini bukan sekadar kejahatan, melainkan sebuah epidemi yang mengakar dalam sistem yang kusut. Dari kolusi kolonial hingga skandal modern, korupsi telah merusak tatanan sosial dan ekonomi.
Pengamat hukum dan politik Dr Pieter C Zulkifli, SH., MH., tulisan analisisnya menggali lebih dalam tentang dampak sekaligus solusi untuk mengatasi luka purba ini. Mantan Ketua Komisi III DPR ini menekankan pentingnya reformasi radikal untuk memutus siklus korupsi yang telah menggerogoti negeri ini. Berikut ini catatan lengkapnya.
***
DI NEGERI ini, korupsi bukan sekadar kejahatan—ia adalah epidemi yang menular dari generasi ke generasi. Seperti virus bermutasi, ia mengubah wajahnya: dari kolusi zaman kolonial hingga skandal megah di era digital. Di sini, politikus busuk bukanlah pengecualian, melainkan produk sistem yang membiakkan keserakahan. Di sini, penyamun tak perlu bersembunyi; mereka duduk di kursi empuk sambil mengklaim diri sebagai “pahlawan pembangunan”. Tapi bagaimana jika korupsi sebenarnya adalah luka purba yang tak kunjung diobati? Bagaimana jika kita bukan korban, tetapi bagian dari masalah?
Sejarah negeri ini bagaikan cermin retak yang memantulkan bayangan kelam. Saat penjajah Belanda mencabik-cabik bumi Nusantara, mereka tak bekerja sendiri. Para bangsawan lokal menjadi kaki tangan, menukar kedaulatan rakyat dengan tahta dan harta. Setelah merdeka, para elit baru mengganti kulit penjajah dengan jas dinas.
Soekarno berteriak tentang "Revolusi Mental", tapi korupsi di tubuh partai politiknya tumbuh subur. Soeharto kemudian menyempurnakan formula itu. Selama 32 tahun, ia membangun kerajaan korporatokrasi, di mana proyek-proyek nasional adalah ATM keluarga Cendana.
Reformasi 1998 dijanjikan sebagai titik balik, tetapi yang terjadi hanyalah perputaran kursi kekuasaan. Para mantan aktivis yang dulu mengutuk Orde Baru kini berubah menjadi tikus raksasa yang menggerogoti APBN. Mereka memelintir demokrasi menjadi “demo-crazy”: pesta kekuasaan di mana suara rakyat dibeli dengan uang panas, janji palsu, dan intimidasi.
Baca Juga: Dilarang Megawati, Inilah Deretan Kepala Daerah Kader PDIP Nekat ke Retret Magelang
Demokrasi yang Dijual di Pasar Gelap
Pemilu di negeri ini mirip lelang proyek. Calon legislatif menghabiskan Rp 5–20 miliar untuk kursi DPR. Setelah menang, mereka harus mengembalikan modal 10 kali lipat. Lalu bagaimana caranya? Merekayasa anggaran, memotong dana bansos, atau menerima “setoran” dari pengusaha nakal. Tak heran jika Indonesia kehilangan Rp 227 triliun per tahun karena korupsi—angka yang cukup untuk membangun 45.000 sekolah atau memberikan BPJS gratis kepada 20 juta keluarga miskin.
Lihatlah kasus korupsi dana COVID-19: ketika rakyat mengantri oksigen, para pejabat menyedot Rp 78 miliar untuk liburan mewah. Atau skandal korupsi Waskita Karya, di mana proyek jalan tol di-markup hingga Rp 900 miliar—uang yang seharusnya bisa mencegah banjir Jakarta atau membayar gaji guru honorer selama satu dekade. Ironisnya, koruptor-koruptor ini tak merasa bersalah. Seperti kata seorang terdakwa di pengadilan: “Saya hanya mengambil jatah yang sudah jadi budaya.”
Namun, korupsi tak akan lestari tanpa ‘dukungan’ publik. Di negeri ini, suap bukan lagi kejahatan, melainkan “solusi”. Mau cepat urus KTP? Siapkan “amplop”. Ingin menang tender? “Silahturahmi” ke kantor pejabat. Bahkan saat memilih pemimpin, kita sering terjebak dalam pragmatisme: “Daripada pilih orang jujur yang tak bisa apa-apa, lebih baik pilih koruptor yang bisa kasih proyek.”
Baca Juga: Kita dan Konglomerat Sederajat