HUKAMANEWS - Kasus pagar laut di Tangerang bukan sekadar persoalan administrasi pertanahan, tetapi juga menjadi cerminan bagaimana hukum bisa dijalankan secara serampangan jika tidak berbasis pada fakta yang kuat. Ketika lembaga penegak hukum bertindak atas dasar asumsi tanpa melakukan penyelidikan yang mendalam, kepercayaan publik terhadap sistem hukum akan semakin terkikis.
Pengamat Hukum dan Politik Dr. Pieter C Zulkifli, SH., MH., menyatakan hal tersebut dalam tulisan analisisnya berjudul: Kasus Pagar Laut Tangerang, Penegakan Hukum Harus Berbasis Fakta, Bukan Asumsi Ceroboh.
Mantan Ketua Komisi III DPR RI ini mengingatkan tentang legalitas sertifikat tanah di wilayah perairan yang seharusnya ditangani dengan pendekatan regulasi yang jelas, bukan sekadar opini atau tekanan politik sesaat. Jika hukum terus dipermainkan sesuai dengan kepentingan tertentu, maka bukan hanya keadilan yang terancam, tetapi juga stabilitas investasi dan kepastian hukum di Indonesia. Berikut ini catatan lengkapnya.
***
KEBENARAN mungkin bisa ditenggelamkan, tetapi ia akan selalu mencari celah untuk muncul ke permukaan. Namun, dalam sistem yang dipenuhi kepentingan dan prasangka, tidak semua kebenaran dapat diterima begitu saja, terutama oleh mereka yang menolak menerima kenyataan. Kasus pagar laut di Tangerang menjadi contoh nyata betapa penegakan hukum yang sembrono dapat menciptakan kegaduhan yang merugikan banyak pihak.
Sebelumnya, beredar surat dari Kejaksaan Agung yang meminta data penerbitan Hak Guna Bangunan (HGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) di Desa Kohod, Tangerang. Surat ini diduga terkait dengan dugaan tindak pidana korupsi dalam penerbitan sertifikat tersebut, yang ramai diperbincangkan setelah kasus pagar laut mencuat. Menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar, tujuan penyelidikan ini adalah untuk memastikan Kejaksaan tidak tertinggal dalam isu tersebut.
Kejaksaan Agung tidak boleh tergesa-gesa berasumsi adanya tindak korupsi dalam kasus ini tanpa melakukan penyelidikan yang mendalam. Jika dugaan ini tidak berdasar, konsekuensinya bukan hanya sekadar mencederai kredibilitas institusi hukum, tetapi juga menciptakan ketidakpastian hukum yang berdampak luas.
Masyarakat pun mempertanyakan, bagaimana mungkin wilayah perairan bisa memiliki sertifikat tanah? Apakah ada pelanggaran regulasi atau justru pemerintah sendiri yang tidak konsisten dalam menafsirkan hukum? Pertanyaan ini harus dijawab dengan pendekatan hukum yang jelas, bukan sekadar opini dan asumsi belaka.
Baca Juga: Paus Fransiskus Alami Bronkitis, Namun Tetap Aktif Jalankan Tugas dari Casa Santa Marta
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) juga tidak lepas dari sorotan. Cara mereka menangani persoalan ini terkesan ceroboh, arogan, dan tidak berbasis pemahaman hukum yang utuh. Sikap represif tanpa mempertimbangkan berbagai aspek lainnya justru berpotensi merugikan kepentingan negara. Logika hukum yang digunakan haruslah berbasis regulasi yang berlaku, bukan hanya berdasarkan kepentingan politik atau tekanan publik sesaat.
Berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960, hak atas tanah tidak hanya terbatas pada daratan, tetapi juga mencakup wilayah perairan atau perbatasan pesisir. Proses pengajuan hak ini harus melalui Kementerian Kelautan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah. Selain itu, dalam Pasal 1 angka (7) PP No. 43 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Ketidaksesuaian Tata Ruang, Kawasan Hutan, Izin, dan/atau Hak atas Tanah, disebutkan bahwa perizinan terkait kegiatan yang memanfaatkan ruang laut adalah legalitas yang diberikan kepada badan usaha atau masyarakat untuk menjalankan usahanya di wilayah perairan pesisir dan laut.