analisis

Pelajaran Politik dari Kisruh Elpiji 3 Kg

Kamis, 6 Februari 2025 | 21:10 WIB
Ilustrasi. Kebijakan pembatasan gas elpiji 3 kg menimbulkan kegaduhan dan kontraproduktif terhadap upaya pemerintah menciptakan stabilitas politik, ekonomi, dan keamanan.

Baca Juga: Titiek Soeharto Bakal Panggil Menteri KP Pekan Depan, Siapa Pemilik Sebenarnya Pagar Laut di Tangerang?

Bahlil dan Logika Politik yang Harus Berubah 

Sebagai Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia tentu memiliki niat baik dalam memastikan subsidi elpiji 3 kg tepat sasaran. Namun, di tengah kondisi ekonomi yang penuh tekanan akibat situasi geopolitik global, kebijakan yang mengundang keresahan seperti ini justru kontraproduktif. 

Dalam politik, tidak ada ruang bagi keputusan yang hanya berbasis teknokratis tanpa pertimbangan sosial dan politik. Logika politik dalam kebijakan publik harus sejalan dengan visi-misi pemerintahan Prabowo-Gibran. 

Bahlil harus memahami bahwa kebijakan yang bersifat mendadak dan tanpa komunikasi yang baik hanya akan memberikan amunisi bagi oposisi untuk menyerang. Prabowo juga perlu memastikan bahwa kebijakan yang keluar dari kabinetnya tidak menjadi alat untuk menciptakan kegaduhan yang bisa merugikan kepentingan negara. 

Seperti kata Aristoteles: "Keberanian adalah awal dari setiap tindakan hebat." 

Namun, keberanian dalam kepemimpinan harus dibarengi dengan kebijaksanaan, bukan sekadar instruksi yang bisa menimbulkan kekacauan. 

Dr. Pieter C Zulkifli, SH. MH.

Prabowo Harus Beradaptasi dengan Zaman

Sebagai mantan jenderal, Prabowo memiliki gaya kepemimpinan yang khas: tegas, cepat dalam mengambil keputusan, dan tidak ragu bertindak. Namun, era kepemimpinan yang didasarkan pada ketakutan dan ketegasan semata sudah tidak relevan. 

Masyarakat saat ini bukan lagi rakyat yang bisa dikendalikan hanya dengan instruksi satu arah. Mereka kritis, aktif di media sosial, dan memiliki ekspektasi tinggi terhadap pemerintahan. Jika Prabowo tidak menyesuaikan pendekatannya, maka risiko resistensi publik akan semakin besar. 

Gaya kepemimpinan yang terlalu militeristik, yang menuntut kepatuhan mutlak tanpa dialog, justru bisa menjadi bumerang. Keputusan untuk mencabut aturan pembatasan pengecer elpiji adalah langkah yang tepat, tetapi Prabowo harus memastikan bahwa pola komunikasi dan pengambilan kebijakan ke depan lebih terbuka dan berbasis konsultasi dengan masyarakat. 

Baca Juga: Hukuman 5 Tahun Penjara untuk Aktivis Iklim di Inggris, Just Stop Oil Jadi Sorotan

Rakyat tidak butuh pemimpin yang hanya ingin ditakuti, mereka butuh pemimpin yang bisa mendengar dan memahami. 

Kasus kebijakan elpiji ini harus menjadi pelajaran besar bagi pemerintahan Prabowo-Gibran. Jangan sampai kebijakan-kebijakan yang diambil justru memberikan celah bagi lawan politik untuk melemahkan pemerintahan sejak awal. 

Halaman:

Tags

Terkini

Membenahi Gagap Nalar Peradilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:37 WIB

Bandara IMIP dan Hilangnya Kedaulatan Negara

Kamis, 27 November 2025 | 15:06 WIB

Rapuhnya Integritas “Wakil Tuhan di Muka Bumi”

Senin, 27 Oktober 2025 | 10:00 WIB

DPR dan Mutu Rendah Legislasi

Senin, 13 Oktober 2025 | 07:00 WIB

Jalan Terjal Mengembalikan Akal Sehat Kekuasaan

Senin, 6 Oktober 2025 | 12:00 WIB

“Mental Stunting” Pejabat

Sabtu, 13 September 2025 | 09:00 WIB

Keadilan Fiskal dan Martabat Demokrasi

Senin, 8 September 2025 | 11:00 WIB

Menyulam Tenun Kebangsaan, Menjaga Indonesia

Rabu, 3 September 2025 | 22:00 WIB