analisis

Keputusan MK Hapus Presidential Threshold Peluang atau Bumerang bagi Demokrasi?

Selasa, 7 Januari 2025 | 13:54 WIB
Ilutrasi. Keputusan Mahkamah Konstitusi untuk menghapus aturan presidential threshold sebesar 20 persen telah memicu perdebatan di berbagai kalangan.

HUKAMANEWS - Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menghapus aturan presidential threshold (PT) sebesar 20 persen telah memicu perdebatan sengit di berbagai kalangan. Meski banyak yang mengapresiasi langkah ini sebagai terobosan menuju demokrasi yang lebih inklusif, sejumlah pengamat mengingatkan bahwa keputusan ini juga memiliki potensi membawa konsekuensi serius, terutama bagi stabilitas politik dan pembangunan nasional.

Pengamat hukum dan politik, Dr. Pieter C Zulkifli, SH., MH., dalam analisisnya, menyebut bahwa penghapusan PT membuka peluang lebih banyak partai untuk mencalonkan presiden. Namun, langkah ini juga meningkatkan fragmentasi politik dan memecah suara pemilih, yang pada akhirnya dapat memperlemah legitimasi presiden terpilih. Mantan Ketua Komisi III DPR itu menegaskan, tanpa regulasi teknis yang jelas, masyarakat dapat terjebak dalam polarisasi politik yang lebih dalam. Berikut ini catatan lengkapnya.

*** 

AWAL tahun ini, MK membuat keputusan mengejutkan dengan menghapus aturan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold (PT) sebesar 20 persen. Keputusan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa aturan tersebut melanggar keadilan, moralitas, dan rasionalitas dalam sistem demokrasi Indonesia. Ambang batas dianggap membatasi pilihan rakyat dan berpotensi menciptakan polarisasi masyarakat, yang dapat mengancam persatuan bangsa.

Baca Juga: Hati-Hati! Virus HMPV Sudah Ada di Indonesia, Kemenkes Buka Suara

Menurut MK, pemilihan presiden selama ini cenderung didominasi oleh partai-partai besar, sehingga membatasi hak konstitusional pemilih. MK berpendapat bahwa penghapusan PT dapat membuka ruang bagi calon-calon baru dengan ide segar, meningkatkan kualitas demokrasi, dan mendorong partisipasi politik yang lebih luas. Namun, MK juga merekomendasikan perlunya regulasi tambahan untuk mengontrol jumlah kandidat dan memastikan pemilu berjalan secara demokratis. 

Meski keputusan ini dipuji sebagai langkah memperbaiki demokrasi, namun patut pula dicermati dampak negatif dari dihapusnya PT, terutama bagi stabilitas politik dan pembangunan Indonesia ke depan. 

Dalam pertimbangan hukum dan diktum putusan, tidak mungkin membuat norma baru untuk membatasi jumlah capres, sebab hal itu, baik langsung maupun tidak langsung akan mengembalikan presidential treshold yang justru sudah dibatalkan oleh MK. Sikap politik MK membatalkan presidential treshold terkesan tidak tegas memahami dinamika politik tanah air.

Baca Juga: Biaya Haji 2025 Turun! Jemaah Bakal Bayar Lebih Ringan, Simak Detailnya 

Penghapusan ambang batas ini juga berpotensi menimbulkan kompetisi yang tidak sehat. Penghapusan PT membuka peluang bagi lebih banyak partai untuk mencalonkan presiden, tetapi juga berisiko meningkatkan fragmentasi politik. Dengan bertambahnya jumlah kandidat, suara pemilih dapat terpecah secara ekstrem, memperlemah legitimasi presiden terpilih. Situasi ini tidak hanya menciptakan pemerintahan yang kurang stabil tetapi juga memperburuk polarisasi politik yang sudah mengakar di masyarakat. 

Ketegangan politik yang semakin tajam dapat menjadi ancaman serius bagi persatuan bangsa, yang merupakan fondasi penting bagi pembangunan. Lebih buruk lagi, tanpa regulasi teknis yang jelas, masyarakat bisa terjebak dalam permainan politik yang manipulatif, seperti penyebaran hoaks, kampanye hitam, dan politik uang. 

Dengan bertambahnya jumlah kandidat, biaya pemilu juga akan meningkat signifikan, terutama dalam sistem dua putaran yang masih berlaku di Indonesia. Anggaran yang seharusnya digunakan untuk sektor vital seperti pendidikan dan infrastruktur justru terserap untuk mendanai proses pemilu. Selain itu, beban kerja penyelenggara pemilu akan melonjak drastis, mengulang tragedi Pemilu 2019 di mana banyak petugas meninggal akibat kelelahan. Tanpa persiapan yang matang, risiko ini dapat mengancam kualitas penyelenggaraan pemilu berikutnya.

Baca Juga: Patrick Kluivert dan Van Gaal, Kombinasi Mematikan di Timnas Indonesia? Ini Dia Respon Manajemennya 

Suburnya Politik Transaksional dan Praktik Kotor 

Salah satu kekhawatiran terbesar adalah munculnya ruang lebih luas bagi politik transaksional dan praktik kotor. Tanpa mekanisme pengawasan yang ketat, penghapusan PT dapat memfasilitasi money politics, intimidasi, dan penyebaran informasi palsu. Ironisnya, langkah yang dimaksudkan untuk memperbaiki demokrasi justru berpotensi mencederai moralitas politik Indonesia. 

Praktik seperti ini akan semakin memperlemah kepercayaan publik terhadap sistem politik, mengancam stabilitas pemerintahan, dan mengalihkan fokus dari agenda pembangunan ke konflik politik yang berkepanjangan. Demokrasi yang diwarnai oleh intrik dan kepentingan sempit hanya akan menjadikan rakyat sebagai korban utama. 

Halaman:

Tags

Terkini

Membenahi Gagap Nalar Peradilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:37 WIB

Bandara IMIP dan Hilangnya Kedaulatan Negara

Kamis, 27 November 2025 | 15:06 WIB

Rapuhnya Integritas “Wakil Tuhan di Muka Bumi”

Senin, 27 Oktober 2025 | 10:00 WIB

DPR dan Mutu Rendah Legislasi

Senin, 13 Oktober 2025 | 07:00 WIB

Jalan Terjal Mengembalikan Akal Sehat Kekuasaan

Senin, 6 Oktober 2025 | 12:00 WIB

“Mental Stunting” Pejabat

Sabtu, 13 September 2025 | 09:00 WIB

Keadilan Fiskal dan Martabat Demokrasi

Senin, 8 September 2025 | 11:00 WIB

Menyulam Tenun Kebangsaan, Menjaga Indonesia

Rabu, 3 September 2025 | 22:00 WIB