HUKAMANEWS – Pidato Presiden Prabowo Subianto di hadapan mahasiswa Indonesia di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, pada 18 Desember 2024 memunculkan kontroversi besar. Dalam pidatonya, Prabowo menyatakan bahwa para koruptor dapat dimaafkan asalkan mereka mengembalikan hasil korupsi kepada negara. Pernyataan ini memantik polemik, menimbulkan pertanyaan: apakah ini langkah strategis atau sekadar omong kosong?
Pengamat hukum dan Politik Dr Pieter C Zulkifli, SH., MH., dalam analisis politiknya menyebut pidato dan kebijakan Prabowo perlu dibarengi dengan tindakan nyata, mengingat korupsi di Indonesia bukan lagi soal individu, melainkan masalah sistemik yang menuntut reformasi mendasar. Tanpa keberanian dan konsistensi dari seorang kepala negara, pemberantasan korupsi akan terus menjadi sekadar omong kosong. Berikut ini catatan lengkapnya:
***
LANGKAH Presiden Prabowo Subianto dalam memberantas korupsi di Indonesia mulai menjadi sorotan. Dalam pidatonya di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, Prabowo menyampaikan sebuah pendekatan yang mengundang perdebatan. "Wahai para koruptor, kalau kau kembalikan apa yang kau curi, mungkin kami maafkan," katanya. Ia mengusulkan mekanisme pengembalian hasil korupsi secara diam-diam sebagai syarat untuk mendapatkan pengampunan.
Pernyataan ini dianggap sebagai bagian dari strategi pemberantasan korupsi yang menekankan pada pemulihan kerugian negara (asset recovery), sesuai dengan prinsip dalam UN Convention Against Corruption (UNCAC). Menteri Koordinator Bidang Hukum dan HAM, Yusril Ihza Mahendra, mendukung gagasan ini, dengan menyebutnya sebagai pendekatan restoratif. "Penegakan hukum korupsi harus membawa manfaat bagi ekonomi bangsa, bukan sekadar balas dendam," ujar Yusril.
Namun, sejauh ini, langkah konkret Prabowo dalam pemberantasan korupsi masih dipertanyakan. Dalam pidato pelantikannya dua bulan lalu, ia mengakui adanya kebocoran anggaran negara, tetapi tindak lanjut atas komitmen tersebut belum terlihat nyata. Bahkan, komposisi kabinet yang ia bentuk turut menjadi bahan kritik. Beberapa nama di kabinetnya memiliki rekam jejak kasus korupsi, alih-alih pernah lolos dari jeratan hukum melalui celah pengadilan.
Sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia menunjukkan bahwa peran presiden sangat menentukan. Pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kasus besar seperti skandal Bank Century tetap berjalan meskipun menyeret nama besannya, Aulia Pohan.
Baca Juga: Inilah 10 Mobil Paling Laris di Indonesia Sepanjang Tahun 2024, Pilihan Otomotif Favorit Konsumen
Pertanyaannya, apakah Prabowo akan membiarkan KPK melemah atau sebaliknya, ia akan menunjukkan komitmen nyata memperkuat lembaga antirasuah ini?
Korupsi di Indonesia sudah menjadi sistemik, melibatkan lingkaran kekuasaan, birokrasi, hingga hukum. Uang menjadi benang merah dalam perekrutan, promosi jabatan, hingga pengambilan kebijakan. Hal ini menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus. Bahkan, hukum kerap tunduk pada kekuatan modal. Situasi ini menggambarkan betapa sulitnya memberantas korupsi tanpa reformasi menyeluruh.
Paralel dengan kondisi tersebut, masa depan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia sangat mengkhawatirkan. Hal ini tercermin dari penilaian Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang terus turun dan menjadi stagnan. Dalam survei terakhir Transparency International pada 2023, IPK Indonesia hanya berada di angka 34 dari skala 100.
Skor IPK ini sama dengan skor pada tahun 2014. Adapun pelaku korupsi memiliki latar belakang politisi, baik dari unsur legislative maupun eksekutif (anggota DPR/DPRD, Menteri/Lembaga Negara, Gubernur, Walikota/Bupati) adalah sebesar 517 orang. Belum lagi para koruptor yang belum disentuh di kalangan sektor swasta. Kondisi ini memperjelas bahwa korupsi politik semakin subur di negeri ini.