HUKAMANEWS – Setelah dilantik sebagai Presiden Indonesia, Prabowo Subianto langsung bergerak cepat. Dalam kunjungan kenegaraannya ke China pekan lalu, Indonesia dan China berhasil mencapai investasi besar senilai USD 10,07 miliar dan menandatangani sejumlah perjanjian bilateral di berbagai sektor, mulai dari perikanan, mineral hijau, hingga penguatan ketahanan pangan.
Di permukaan, kunjungan ini tampak menguntungkan, namun benarkah ini sekadar kemenangan diplomasi semata?
Pengamat hukum dan politik, Dr. Pieter C. Zulkifli, S.H., M.H., dalam analisisnya mempertanyakan dampak jangka panjang dari kerja sama tersebut, terutama terkait isu sensitif mengenai kedaulatan wilayah di Laut Natuna Utara. Berikut ini catatan lengkapnya:
Baca Juga: Gawat! Situs Resmi NTMC Polri Kena Hack, Berubah Jadi Iklan Judi Online
KUNJUNGAN kenegaraan Presiden Prabowo Subianto ke China pada November 2024 menghasilkan kerja sama ekonomi dan politik yang signifikan antara kedua negara. Melalui pertemuan dengan Presiden Xi Jinping dan pejabat tinggi China lainnya, Prabowo berhasil menjalin beberapa kesepakatan strategis.
Namun, di balik pencapaian investasi dan kerja sama maritim ini, muncul kekhawatiran bahwa Indonesia mungkin melangkah terlalu jauh, sehingga mengancam kedaulatan di wilayah Natuna dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).
Kunjungan Prabowo menghasilkan investasi besar hingga USD 10,07 miliar yang mencakup sektor ketahanan pangan, energi, dan teknologi. Hasil ini mencerminkan pencapaian ekonomi yang penting, sejalan dengan program pemerintah untuk memajukan sains dan teknologi di Indonesia. Selain itu, terdapat tujuh kesepakatan bilateral, termasuk ekspor kelapa segar dan pengelolaan perikanan berkelanjutan.
Permasalahan Klaim Wilayah di Natuna Utara dan Ancaman terhadap Stabilitas ASEAN
Dalam dokumen kerja sama antara Indonesia dan China, terdapat butir yang menyebutkan kerja sama di wilayah yang mengalami “klaim tumpang tindih.” Penggunaan istilah “overlapping claims” dalam pernyataan bersama ini patut dipertanyakan, karena mengindikasikan pengakuan Indonesia atas klaim sepihak China—termasuk "sembilan garis putus-putus" atau Nine-Dash Line yang mencakup Laut China Selatan hingga wilayah Natuna Utara. Padahal, klaim tersebut telah dinyatakan tidak sah oleh Pengadilan Arbitrase Internasional pada 2016 dan tidak diakui dalam Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) 1982.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Prof. Hikmahanto Juwana menyatakan bahwa jika joint development benar-benar terealisasi, maka langkah tersebut bisa menyiratkan pengakuan diam-diam atas klaim sepihak China.
Jika Indonesia mengakui adanya klaim tumpang tindih ini, berarti terdapat perubahan kebijakan luar negeri yang mendasar, berbeda dari sikap pemerintahan sebelumnya yang tegas menolak klaim China di perairan tersebut. Pada era Presiden Jokowi, Indonesia bahkan mengirim kapal patroli dan jet tempur untuk mempertahankan Natuna Utara dari klaim sepihak China.
Lebih dari itu, kerja sama yang tampak seolah mengakui klaim China tersebut dapat mengundang reaksi dari negara-negara ASEAN lainnya. Negara-negara seperti Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei yang juga berkonflik dengan China di Laut China Selatan, mungkin akan mempertanyakan sikap Indonesia yang selama ini tegas mempertahankan kedaulatan ZEE di Natuna. Jika kerja sama ini dipandang sebagai upaya strategis China memperkuat klaimnya, stabilitas ASEAN bisa terganggu dan posisi Indonesia dalam diplomasi kawasan akan dipertanyakan.