HUKAMANEWS – Aksi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FISIP Universitas Airlangga (Unair) sempat menarik perhatian publik setelah mengirimkan karangan bunga satire kepada Presiden dan Wakil Presiden pada 22 Oktober 2024. Karangan bunga tersebut berisi kritik tajam dan sarkastis yang dengan cepat menjadi viral di platform sosial seperti X dan TikTok, memicu beragam respons dari masyarakat.
Terkait insiden ini, pihak dekanat FISIP Unair memutuskan membekukan kepengurusan tiga anggota BEM selama tiga hari. Dekan FISIP Unair, Prof. Bagong Suyanto, menyatakan bahwa kata-kata yang digunakan dinilai tidak sopan dan melampaui batas etika, sehingga diperlukan tindakan tegas.
Pengamat politik Dr. Pieter C. Zulkifli, SH., MH., menyayangkan aksi mahasiswa tersebut. Pieter dalam catatan analisis politiknya menilai bahwa aksi-aksi mahasiswa seperti ini cenderung tidak konstruktif dan berisiko dimanfaatkan oleh kelompok tertentu. Menurut Pieter, politik bukan soal hanya demonstrasi, hinaan, dan caci maki. Pieter juga mengingatkan bahwa Gen Z dan milenial Indonesia kini tertinggal dibandingkan dengan masyarakat pendidikan negara lain. Berikut ini tulisan lengkapnya:
***
DI ERA kebebasan berpendapat saat ini, kritik sering kali menjadi alat penting bagi mahasiswa untuk menyuarakan aspirasi dan harapan mereka akan masa depan bangsa. Namun, kritik tanpa perspektif luas justru dapat mengaburkan tujuan dan membuat perubahan menjadi sulit dicapai. Kasus Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FISIP Universitas Airlangga (Unair) baru-baru ini mencerminkan kompleksitas ini. BEM FISIP sempat dibekukan setelah mengirim karangan bunga satire yang viral di media sosial, berisi kritik terhadap pelantikan Presiden Prabowo dan Wakil Presiden Gibran. Kritik ini menuai pro dan kontra, serta menimbulkan pertanyaan mendalam mengenai etika, batasan kritik, dan peran mahasiswa di era demokrasi.
Kebebasan berpendapat adalah hak fundamental, namun dalam kebebasan ini terdapat tanggung jawab untuk menyampaikan kritik yang konstruktif. Kritik tidak hanya tentang mengutarakan kekecewaan, tetapi juga harus menawarkan solusi. Kritik yang hanya berfokus pada celaan tanpa analisis yang matang cenderung merugikan pihak yang mengeluarkannya. Seperti yang diungkapkan Dekan FISIP Unair, Prof. Bagong Suyanto, ada batasan dalam penyampaian kritik yang harus dihormati, terutama dalam ranah akademis.
Tantangan Memahami Geopolitik
Mahasiswa sebagai "agen perubahan" dituntut untuk mampu menyampaikan kritik yang beretika, dengan menawarkan solusi serta kesadaran atas isu yang lebih besar. Kritik tanpa solusi dan visi yang sempit hanya akan menimbulkan kegaduhan. Ini juga mencerminkan kurangnya pemahaman terhadap kompleksitas geopolitik, di mana situasi nasional tak dapat dipisahkan dari dinamika global yang lebih luas. Di tengah tantangan seperti ketergantungan Indonesia terhadap impor barang-barang pokok dan dampak dari ketegangan geopolitik seperti konflik Timur Tengah atau ketegangan di Indo-Pasifik, pemahaman akan politik global menjadi kunci penting bagi generasi muda.
Di sisi lain, Indonesia diharapkan mencapai "Generasi Emas" pada tahun 2045, ketika mayoritas angkatan kerja diisi oleh generasi muda. Bonus demografi ini dapat menjadi kekuatan luar biasa bagi negara, asalkan generasi muda memiliki wawasan yang luas dan kemampuan berpikir kritis dalam menghadapi kondisi geopolitik yang dinamis. Namun, saat ini banyak mahasiswa yang lebih memilih aksi demonstrasi ketimbang dialog yang membangun. Pemikiran sempit semacam ini rentan 'ditunggangi' oleh kelompok dengan agenda terselubung, yang dapat menghambat tujuan mulia untuk perubahan.
Baca Juga: Smartphone Gaming Tecno Camon 20 Pro Main Game Anti Ngelag dengan Kamera Keren dan Harga Bersahabat
Geopolitik global saat ini tidak hanya soal relasi antarnegara, tetapi juga mencakup isu keamanan, ekonomi, lingkungan, dan stabilitas sosial. Generasi Milenial dan Gen Z yang tidak memahami konteks ini akan kesulitan untuk memberikan kritik yang konstruktif. Misalnya, kebijakan energi tidak bisa hanya dilihat dari sudut pandang nasional, tetapi harus dikaitkan dengan krisis iklim global dan kepentingan ekonomi dunia. Begitu pula kebijakan ekonomi yang terkait dengan investasi asing atau pengaruh negara besar seperti Amerika Serikat dan Tiongkok.