Mafia Skincare, Kosmetik Ilegal, dan Wajah Kusam Penegakan Hukum di Indonesia

photo author
- Selasa, 12 Agustus 2025 | 14:46 WIB
ILustrasi Skincare.  Dr Pieter C Zulkifli, SH., MH, menyoroti bahwa lemahnya pengawasan, penegakan hukum setengah hati, dan celah regulasi telah menciptakan surga bagi mafia kosmetik ilegal.
ILustrasi Skincare. Dr Pieter C Zulkifli, SH., MH, menyoroti bahwa lemahnya pengawasan, penegakan hukum setengah hati, dan celah regulasi telah menciptakan surga bagi mafia kosmetik ilegal.

HUKAMANEWS - Ledakan industri skincare di Indonesia tak hanya memoles wajah, tetapi juga menyimpan sisi gelap yang mematikan. Di balik kemasan mewah dan janji hasil instan, bersembunyi racun yang menggerogoti kesehatan publik. Ironisnya, negara justru tampak kehilangan taring untuk menindak tegas para pelaku.

Pengamat Hukum dan Politik, Dr Pieter C Zulkifli, SH., MH, menyoroti bahwa lemahnya pengawasan, penegakan hukum setengah hati, dan celah regulasi telah menciptakan surga bagi mafia kosmetik ilegal. Dalam catatan analisisnya, mantan Ketua Komisi III DPR RI ini mengurai fakta-fakta lapangan dan rangkaian kasus terbaru, seraya menuntut keberanian negara untuk kembali menegakkan prinsip dasar bernegara: keselamatan rakyat sebagai hukum tertinggi. 

*** 

KECANTIKAN di era media sosial kini kerap dijual dalam kemasan instan: wajah mulus, glowing, dan tanpa cela. Namun, di balik botol elegan dan janji hasil kilat itu, tersimpan ancaman nyata: bahan kimia berbahaya, izin edar palsu, dan proses produksi ilegal. Lebih ironis lagi, di tengah derasnya peredaran kosmetik berbahaya ini, negara tampak gamang, bahkan seakan kehilangan nyali untuk bertindak tegas. 

Mafia skincare” bukan sekadar istilah sensasional. Ini adalah kenyataan pahit di mana produk ilegal beredar luas tanpa izin edar resmi atau tidak sesuai dengan standar keamanan BPOM. Banyak di antaranya adalah produk yang semestinya dibuat berdasarkan resep dokter—mengandung zat aktif yang hanya boleh digunakan dengan pengawasan medis—namun dijual bebas tanpa konsultasi. 

Lebih parah, membanjirnya kosmetik impor murah dari Tiongkok yang bekerja sama dengan pengusaha skincare di Indonesia nyaris selalu lolos dari radar pengawasan Bea Cukai dan BPOM. Fenomena ini bukan baru kemarin sore. Praktik ini sudah berlangsung lebih dari satu dekade tanpa penindakan serius. Aparat seolah hanya menonton, alih-alih sungguh-sungguh melindungi kepentingan dan keselamatan rakyat. 

Pelanggaran ini bersifat sistematis. Temuan BPOM menunjukkan pelanggaran yang berulang dan terorganisir, melibatkan jaringan bisnis gelap yang tak jarang bersinggungan dengan oknum di lingkar kekuasaan. Ironisnya, industri kosmetik memang tumbuh pesat di Indonesia, tetapi peredaran skincare ilegal yang banyak mengandung merkuri dan hidrokuinon tetap marak dan sulit diberantas. Padahal dua zat ini dikenal berbahaya: merusak ginjal, hati, hingga memicu kanker kulit. 

Pemerintah sebenarnya sudah menyadari persoalan ini. Pada 10 Januari 2025, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Kepala BPOM Taruna Ikrar menandatangani nota kesepahaman untuk memperkuat penindakan bersama terhadap mafia skincare dan obat ilegal. Namun langkah ini datang terlambat. Ribuan produk berbahaya sudah terlanjur beredar di pasaran. 

Sepekan kemudian, Polres OKU Timur membongkar penjualan kosmetik tanpa izin edar di media sosial, menyita krim pemutih dan serum palsu tanpa label BPOM (Tribatanews Sumsel, 16 Januari 2025). Lalu pada 10–18 Februari 2025, BPOM mencatat penyitaan 91 merek kosmetik ilegal senilai Rp31,7 miliar, sebagian besar mengandung merkuri dan hidrokuinon (Tirto.id, 18 Februari 2025). 

Dr. Pieter C Zulkifli, SH. MH.
Dr. Pieter C Zulkifli, SH. MH.

Puncaknya terjadi pada 27 Mei 2025, ketika polisi menggerebek pabrik skincare ilegal di Bekasi. Pabrik ini memproduksi krim bermerek GlowGlowing tanpa izin BPOM, omzetnya menembus Rp12 miliar. Delapan orang ditangkap, termasuk pemilik dan staf pemasaran, yang terbukti menggunakan bahan kimia tanpa uji keamanan (CNBC Indonesia, 27 Mei 2025). 

Rentetan kasus ini belum menutup cerita. Dari April hingga Juni 2025, BPOM mencabut izin edar 34 produk kosmetik mengandung bahan berbahaya, dan Agustus 2025 kembali menarik 21 produk karena komposisinya tidak sesuai dokumen resmi. Fakta ini memperlihatkan lemahnya kontrol administratif, bahkan indikasi manipulasi data (standar-otskk.pom.go.id, 7 Agustus 2025). 

BPOM sendiri mengakui hanya memiliki sekitar 600 Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) untuk mengawasi seluruh Indonesia. Celah inilah yang dimanfaatkan mafia kosmetik, berkolaborasi dengan oknum aparat dan pelaku bisnis besar untuk membangun jaringan distribusi yang nyaris kebal hukum. 

Namun, keterbatasan bukan alasan untuk pasrah. Negara punya mandat konstitusional untuk melindungi rakyat. Itu berarti menambah penyidik, memperkuat koordinasi lintas lembaga, menindak tidak hanya kurir atau reseller kecil, tetapi juga aktor intelektualnya: produsen besar, pemilik merek ilegal, importir nakal, hingga influencer yang dengan sadar mempromosikan racun ini. 

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Sukowati Utami JI

Sumber: OPINI

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Membenahi Gagap Nalar Peradilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:37 WIB

Bandara IMIP dan Hilangnya Kedaulatan Negara

Kamis, 27 November 2025 | 15:06 WIB

Rapuhnya Integritas “Wakil Tuhan di Muka Bumi”

Senin, 27 Oktober 2025 | 10:00 WIB

DPR dan Mutu Rendah Legislasi

Senin, 13 Oktober 2025 | 07:00 WIB

Jalan Terjal Mengembalikan Akal Sehat Kekuasaan

Senin, 6 Oktober 2025 | 12:00 WIB

“Mental Stunting” Pejabat

Sabtu, 13 September 2025 | 09:00 WIB

Keadilan Fiskal dan Martabat Demokrasi

Senin, 8 September 2025 | 11:00 WIB

Menyulam Tenun Kebangsaan, Menjaga Indonesia

Rabu, 3 September 2025 | 22:00 WIB
X