Sebagaimana dikatakan oleh Laksao Anindito, eks penyidik KPK yang kini memimpin IM57 Institute, “Ke depan, politisi tidak akan takut melakukan korupsi karena penyelesaian dapat dilakukan melalui kesepakatan politik.” Pernyataan ini mencerminkan kegelisahan publik yang nyata—bahwa keadilan kini seperti barang yang bisa dinegosiasikan.
Jalan Pintas yang Menyesatkan
Setiap pemerintahan tentu dihadapkan pada tekanan politik dan kebutuhan kompromi. Namun, ketika kompromi itu menyasar pada prinsip keadilan, maka harga yang dibayar adalah kepercayaan rakyat. Dalam demokrasi yang sehat, kekuasaan tidak boleh mengatur hukum; sebaliknya, hukumlah yang mengatur kekuasaan.
Presiden Prabowo memiliki kesempatan emas untuk menunjukkan bahwa pemerintahannya berpihak pada hukum yang adil, bukan hukum yang disesuaikan. Alih-alih menjadikan amnesti dan abolisi sebagai instrumen kekuasaan, Prabowo seharusnya menggunakannya secara selektif dan transparan—untuk membebaskan mereka yang benar-benar menjadi korban ketidakadilan, bukan elite yang terjerat kasus korupsi.
Masyarakat Indonesia tidak kekurangan pengampunan. Yang kita kekurangan adalah keadilan. Dan pengampunan tanpa keadilan bukanlah kebajikan, melainkan pengkhianatan.
Jika pola ini dibiarkan, sejarah akan mencatat bahwa hukum pernah kalah, dan negara pernah absen saat rakyat paling membutuhkannya. Di sinilah Presiden Prabowo diuji, bukan hanya sebagai pemegang kekuasaan, tetapi sebagai penjaga moralitas hukum.***
Artikel Terkait
Putusan MK Soal Pemilu Serentak: Momentum Mendesain Ulang Demokrasi yang Berkeadilan
Kejahatan Kerah Putih dan Murahnya Harga Keadilan
10.000 Ton Beras untuk Palestina, Stunting di Negeri Sendiri
DPR, KPK, dan Pertarungan Senyap di Balik Revisi KUHAP
Mengukur Kemiskinan, Melupakan Kemanusiaan: Paradoks Statistik dan Realitas Rakyat