HUKAMANEWS - Kejujuran adalah fondasi dari sebuah peradaban yang maju, namun ironisnya, ia menjadi barang langka di tengah carut marut hukum dan politik di Indonesia. Almarhum Artidjo Alkostar, pernah berujar, “Kejujuran tidak bisa diajarkan, tapi dihidupkan.” Pernyataan ini menjadi refleksi mendalam tentang situasi bangsa, di mana nilai-nilai kejujuran yang semestinya menjadi dasar kehidupan justru terkubur oleh korupsi, manipulasi, dan kekuasaan yang timpang.
Pengamat hukum dan Politik Dr Pieter C Zulkifli, SH., MH., dalam tulisan analisisnya menggali bagaimana semangat kejujuran dapat dihidupkan kembali, meskipun dihadapkan pada tantangan besar yang mencengkeram negeri ini. Mantan Ketua Komisi III DPR ini mengatakan bahwa kejujuran bukan hanya soal moralitas individu, tetapi juga tentang menciptakan ekosistem sosial yang mendorong integritas. Berikut ini catatan lengkapnya.
***
ARTIDJO ALKOSTAR, seorang hakim agung yang dikenal dengan keberanian dan ketegasannya, pernah menyatakan: “Kejujuran tidak bisa diajarkan, tapi dihidupkan.” Sebuah kalimat yang tidak hanya sarat makna, tetapi juga menggambarkan salah satu persoalan mendasar bangsa ini.
Indonesia, negara yang dikenal religius dengan nilai-nilai moral yang sering digaungkan, kini justru dirundung paradoks. Korupsi, manipulasi, dan kebohongan telah menjadi pemandangan biasa – menciptakan ironi antara ajaran moral dan praktik nyata kehidupan sehari-hari.
Realitas saat ini menunjukkan bahwa ketidakjujuran merajalela di berbagai lini. Mulai dari proses pengambilan keputusan politik, alokasi anggaran, hingga pelayanan publik, praktik penyelewengan hampir tak dapat dihindari. Banyak individu memilih bungkam – atau bahkan ikut berpartisipasi – karena takut tersingkir dari sistem atau dihantam oleh mereka yang lebih berkuasa. Inilah lingkaran setan yang membuat kejujuran menjadi barang langka, bahkan dianggap sebagai ancaman.
Sementara, mereka yang berani menegakkan kejujuran sering kali menjadi sasaran. Para pelapor atau whistleblower yang mencoba mengungkap kebusukan sistem kerap dikriminalisasi, bukan dilindungi. Lingkungan yang tidak jujur membangun mekanisme perlindungan diri yang kejam, menyerang siapa saja yang berusaha mengungkap kebenaran. Dalam situasi seperti ini, banyak yang memilih diam daripada berkonfrontasi.
Baca Juga: Intelijen KPK Diminta Segera Bertindak, Dugaan Markup Rp1,3 Triliun di Proyek Coretax
Kejujuran Perlu Keberanian dan Ketegasan Hukum
Kejujuran memerlukan keberanian. Namun, keberanian saja tidak cukup. Ia harus didukung oleh hukum yang tegas, berani, dan tanpa pandang bulu. Sayangnya, hukum di Indonesia sering kali justru menjadi alat intimidasi terhadap mereka yang lemah, sementara melindungi mereka yang kuat.
Lihat saja kasus-kasus besar yang melibatkan mafia hukum, suap dalam pengadilan, dan korupsi berjamaah di berbagai lembaga. Penegak hukum yang seharusnya menjadi teladan kejujuran malah terjerat dalam praktik-praktik busuk. Akibatnya, hukum kehilangan daya intimidatif terhadap penyelewengan dan malah menanamkan ketakutan pada mereka yang memilih untuk berkata benar.
Kejujuran, pada dasarnya, adalah fondasi keadilan. Namun, keadilan tidak akan pernah terwujud jika hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya. Ketika pelanggar hukum merasa tak tersentuh, kejujuran tak akan pernah mendapat ruang untuk tumbuh.
Baca Juga: Agama dan Keadilan Iklim, Merajut Kepedulian Lingkungan dalam Perspektif Spiritual
Artikel Terkait
Keputusan MK Hapus Presidential Threshold Peluang atau Bumerang bagi Demokrasi?
Hasto, KPK, dan Megawati: Drama Politik PDIP yang Memicu Kontroversi
Bukan Koalisi, Bukan Oposisi: Membaca Manuver Abu-Abu PDIP di Pemerintahan Prabowo
Negeri Surplus "Oknum"
Ketidakdewasaan Elite Politik Indonesia yang Mengakar
Para Perampok yang Bersembunyi di Balik Atribut Kekuasaan