HUKAMANEWS - Prabowo Subianto memulai pemerintahannya dengan visi yang ambisius. Namun, janji besar seperti menghapus kemiskinan memerlukan keberanian, inovasi, dan kebijakan yang berpihak pada rakyat. Kenaikan PPN menjadi ujian pertama: apakah ini langkah awal menuju transformasi ekonomi atau sekadar langkah pragmatis yang mengorbankan rakyat demi angka-angka di laporan keuangan negara?
Pengamat hukum dan politik Dr. Pieter C Zulkifli, SH., MH., mempunyai catatan menarik dalam analisis politiknya berikut ini.
***
PRESIDEN Prabowo Subianto memulai masa pemerintahannya dengan visi besar: menghapus kemiskinan, meningkatkan taraf hidup rakyat, menyediakan makan siang gratis, membangun tiga juta rumah, hingga menciptakan jutaan lapangan kerja.
Ambisi ini membawa harapan baru bagi rakyat Indonesia. Namun, di balik visi mulia tersebut, muncul pertanyaan besar: bagaimana visi ini akan dibiayai, terutama dengan rencana menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%?
Rencana menaikkan PPN menjadi 12% memunculkan perdebatan. Di satu sisi, kebijakan ini dianggap sebagai langkah strategis untuk meningkatkan pendapatan negara guna mendukung target ambisius Prabowo, termasuk pertumbuhan ekonomi 8% per tahun. Di sisi lain, langkah ini dinilai bertentangan dengan janji peningkatan taraf hidup masyarakat. Kenaikan PPN berpotensi meningkatkan harga barang dan jasa di pasar, yang otomatis melemahkan daya beli rakyat, terutama kelompok berpenghasilan rendah.
APBN Rp8.000 Triliun: Tantangan atau Ilusi?
Untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 8%, pemerintah diperkirakan memerlukan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sekitar Rp8.000 triliun per tahun, dua kali lipat dari anggaran saat ini. Namun, proyeksi Kementerian Keuangan untuk APBN 2025 hanya mencapai Rp3.600 triliun. Bahkan, jumlah ini pun belum sepenuhnya tersedia dalam bentuk uang nyata. Artinya, rencana ini lebih bersifat prediktif ketimbang realistis.
Baca Juga: Kenaikan Pajak Bikin PHK Massal, DPR Minta PPh 21 Dikaji Ulang! Benarkah Beban Pajak Semakin Berat?
Laporan dari IMF menunjukkan skeptisisme terhadap target ini, mengingat Indonesia masih menghadapi masalah struktural di sektor keuangan. Salah satu tantangan utama adalah keterbatasan uang kartal yang dimiliki negara. Data Bank Indonesia menunjukkan bahwa uang kartal yang beredar hanya sekitar Rp954,5 triliun. Angka ini jauh dari cukup untuk menggerakkan ekonomi sebesar Indonesia, alih-alih mendukung target pertumbuhan 8%.
Belajar dari Amerika, negara adidaya ini pernah menghadapi krisis keuangan besar pada 2008-2009. Untuk mengatasi masalah tersebut, mereka mencetak uang dalam jumlah besar, mencapai 2000 miliar dolar AS, atau sekitar 30.000 triliun rupiah. Namun, langkah ini didukung oleh faktor produktif dan proyek-proyek besar di bawah pengaruh kekuatan ekonominya.
Sayangnya, Indonesia tidak memiliki posisi serupa. Ketergantungan pada mata uang asing seperti dolar AS dan euro membuat rupiah terjepit. Sebagian besar transaksi ekspor-impor menggunakan mata uang asing, yang secara langsung mengurangi sirkulasi rupiah di pasar domestik. Hal ini juga berdampak pada kemampuan pemerintah membayar utang luar negeri.
Artikel Terkait
Harap-Harap Cemas Menanti 100 Hari Kinerja Kabinet Merah Putih Prabowo-Gibran
Apresiasi Kinerja Kejaksaan Agung, Pilar Penegak Keadilan dan Harapan Masyarakat
Tantangan Generasi Emas, Meluaskan Perspektif dan Memahami Geopolitik
RUU Perampasan Aset: Perdebatan Diksi, Hambatan Pengesahan, dan Masa Depan Pemberantasan Korupsi
Membaca Kompleksitas Diplomasi Indonesia dan China, Perlu Langkah Bijak Prabowo Agar Tidak Terjebak Permainan Geopolitik Beijing