Ia menegaskan bahwa keberadaan Ammar masih penting dalam tumbuh kembang mereka, meski sudah tidak tinggal bersama.
Pandangan ini selaras dengan berbagai studi psikologi keluarga, yang menunjukkan bahwa keterhubungan emosional dengan kedua orang tua sangat berdampak pada stabilitas mental anak.
Ada Banyak Cara Agar Anak Bisa Tetap Terhubung
Jon Mathias menambahkan bahwa pihaknya terbuka dengan berbagai alternatif komunikasi.
Ia menilai komunikasi dapat difasilitasi melalui pengacaranya, video call terjadwal, atau akses terbatas yang tetap aman bagi semua pihak.
Baca Juga: Misteri Wafatnya Dirut Bank BJB Usai Bermain Golf, Spekulasi Penyebab Kematianya Makin Memanas
Sikap terbuka ini menunjukkan upaya hukum Ammar tidak sekadar menuntut hak, tetapi mencari solusi yang paling memungkinkan dalam kondisi saat ini.
Di media sosial, pembahasan ini kembali menghangat.
Banyak netizen menilai bahwa terlepas dari konflik rumah tangga, anak tetap berhak mengenal orang tuanya.
Namun, sebagian lain menilai akses komunikasi tetap harus mempertimbangkan kondisi emosional ibu dan anak, termasuk rekam jejak konflik yang pernah terjadi.
Situasi seperti yang dialami Ammar dan Irish bukanlah hal baru dalam kasus perceraian di Indonesia.
Sering kali, akses komunikasi menjadi titik konflik yang berkepanjangan, bahkan di luar ranah pengadilan.
Para pakar hukum keluarga menilai bahwa penyelesaian terbaik biasanya mengedepankan mediasi, keterlibatan psikolog anak, serta kesepakatan bersama agar tumbuh kembang anak tidak terganggu.
Kasus Ammar Zoni yang kembali menyoroti isu akses komunikasi ayah dan anak ini membuka ruang diskusi tentang bagaimana sistem hukum dan keluarga di Indonesia mengakomodasi kebutuhan emosional anak dalam situasi pascaperceraian.