HUKAMANEWS – Kasus ledakan yang melibatkan seorang siswa di SMAN 72 Jakarta akhirnya diklarifikasi langsung oleh Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung.
Ia memastikan tidak ada praktik bullying di SMAN 72, seperti yang ramai dispekulasikan publik dalam beberapa hari terakhir.
Pramono menegaskan, hasil penelusuran pihak sekolah dan pemerintah daerah menunjukkan bahwa pelaku bukan korban perundungan, melainkan terpengaruh oleh tayangan kekerasan yang ditontonnya di media digital.
Pernyataan ini sekaligus membantah berbagai dugaan publik yang mengaitkan peristiwa tersebut dengan isu diskriminasi atau intoleransi di lingkungan sekolah, yang sempat viral di media sosial.
Baca Juga: Kepala BGN Kena Semprot DPR! Gara-Gara Tambah Anggaran Rp28,6 Triliun Tanpa Izin ke Menkeu
Dalam keterangan pers di Balai Kota Jakarta, Kamis (13/11/2025), Gubernur Pramono Anung menegaskan bahwa seluruh siswa dan guru di SMAN 72 Kelapa Gading telah memberikan keterangan yang membantah adanya tindakan perundungan terhadap pelaku.
“Spekulasinya memang banyak, tapi pihak sekolah sendiri sudah memastikan tidak benar ada bullying di lingkungan mereka,” ujar Pramono kepada awak media.
Ia menjelaskan, pelaku justru terpengaruh oleh konten berunsur kekerasan yang dikonsumsi secara berulang.
Pemerintah DKI pun menyoroti bagaimana tayangan digital ekstrem dapat memicu perilaku menyimpang pada remaja jika tidak diawasi dengan baik.
“Persiapan dengan tujuh bahan peledak itu menunjukkan ada pengaruh dari tayangan tertentu. Saya yakin tindakan itu lahir karena terinspirasi dari apa yang dia tonton,” kata Pramono.
Menurut catatan pihak keamanan, pelaku sempat melakukan eksperimen sederhana menggunakan bahan yang mudah ditemukan di rumah. Beruntung, ledakan yang terjadi tidak menimbulkan korban jiwa.
Kasus ini membuka kembali kekhawatiran publik akan dampak tayangan digital terhadap psikologis remaja, terutama di usia sekolah menengah atas.
Dalam survei Kominfo 2024, sekitar 67% remaja Indonesia mengaku pernah menonton konten kekerasan di internet, dan lebih dari separuhnya menilai konten tersebut “tidak berbahaya”.
Para pakar pendidikan menilai, rendahnya literasi digital dan kontrol orang tua menjadi faktor utama anak mudah terpengaruh.