“Yang bersangkutan merasa sendiri dan tidak memiliki tempat untuk menyampaikan keluh kesahnya,” kata Iman.
Keterangan penyidik mengarah pada adanya dorongan internal kuat dari pelaku yang berujung pada tindakan ekstrem.
Kondisi ini menjadi refleksi serius bagi dunia pendidikan dan orang tua agar lebih peka terhadap kondisi mental anak-anak mereka.
Aksi Mandiri, Bukan Jaringan Teror
Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Asep Edi Suheri menegaskan, dari hasil penyidikan sementara, siswa tersebut bertindak sendiri tanpa keterlibatan jaringan teror atau kelompok tertentu.
Pelaku juga telah ditetapkan sebagai anak berhadapan dengan hukum (ABH) dan mendapat perlakuan sesuai regulasi perlindungan anak.
“Anak yang terlibat ledakan merupakan siswa SMA aktif. Ia bertindak secara mandiri dan tidak berhubungan dengan jaringan teror mana pun,” tegas Asep.
Peristiwa ledakan yang terjadi pada Jumat, 7 November 2025, bertepatan dengan waktu khotbah salat Jumat di lingkungan sekolah, menimbulkan kepanikan besar di kalangan siswa dan guru.
Polisi mencatat 96 orang menjadi korban, sebagian besar mengalami luka ringan akibat serpihan dan asap.
Dari hasil olah TKP, penyidik menemukan sejumlah barang bukti berupa perangkat pemicu ledakan yang dirakit secara sederhana.
Penyidikan lanjutan kini fokus pada motif psikologis dan faktor sosial di balik aksi pelajar tersebut.
Empati Publik dan Tanggung Jawab Sosial
Kasus ini mengundang keprihatinan luas. Di media sosial, banyak netizen menyoroti pentingnya peran keluarga dan sekolah dalam menjaga kesehatan mental pelajar.