Setelah proses administrasi selesai pada Juli 2022, PUBG resmi terdaftar dan ancaman pemblokiran pun dicabut.
Menurut pakar budaya digital, pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa diskursus soal game kekerasan selalu sensitif karena menyangkut dua sisi: kebebasan bermain dan keamanan psikososial remaja.
Dalam kacamata perkembangan digital, game seperti PUBG tidak hanya hiburan, tetapi juga bagian dari ekosistem ekonomi kreatif dan e-sports yang besar di Indonesia.
Karena itu, rencana pembatasan harus mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, dan psikologi secara seimbang.
Respons Publik dan Tantangan Regulasi
Di media sosial, wacana pembatasan PUBG memunculkan beragam respons.
Sebagian warganet mendukung langkah ini sebagai upaya menjaga keamanan anak sekolah.
Namun tidak sedikit pula yang menganggap pemerintah seharusnya memfokuskan perhatian pada edukasi digital dan literasi keamanan, bukan sekadar pembatasan.
Pengamat teknologi menilai bahwa regulasi game online harus melibatkan riset, psikolog pendidikan, dan industri gaming.
Menurut mereka, pembatasan tanpa edukasi hanya memindahkan masalah, bukan menyelesaikannya.
Apalagi, Indonesia memiliki komunitas e-sports yang berkembang pesat dan menjadi bagian dari ekonomi digital nasional.
Isu ini juga beririsan dengan tren global.
Beberapa negara menerapkan pembatasan waktu bermain untuk anak di bawah umur, sementara yang lain fokus pada peningkatan filter dan parental control.
Indonesia masih mencari formula kebijakan yang paling sesuai dengan budaya lokal dan kondisi sosial masyarakatnya.
Pemerintah Harus Cermat dalam Menyusun Aturan
Diskusi mengenai pembatasan PUBG usai insiden di SMAN 72 Jakarta bukan sekadar soal game, tetapi menyangkut keselamatan, psikologi remaja, dan literasi digital.