nasional

Sumpah Pemuda dan Mimpi Antikorupsi yang Tersesat di Jalan Kekuasaan

Senin, 3 November 2025 | 09:00 WIB
Dr. Pieter C Zulkifli, SH. MH.

HUKAMANEWS — Delapan puluh sembilan tahun setelah para pemuda bersumpah satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa, kita justru hidup di zaman ketika sumpah itu terdengar seperti ironi. Sebab yang disatukan kini bukan lagi semangat kebangsaan, melainkan kepentingan dan kuasa.

Dalam tulisan ini, Dr. Pieter C. Zulkifli, SH., MH, pengamat hukum dan politik, menelusuri bagaimana mimpi antikorupsi tersesat di jalan kekuasaan — bagaimana janji Sumpah Pemuda perlahan retak di tangan elite yang korup. Mantan Ketua Komisi III DPR RI ini menulis dengan gaya yang menampar: bangsa yang lupa integritas sejatinya sedang kehilangan arah menuju cita-cita kemerdekaannya sendiri. Berikut catatan lengkapnya.

***

Delapan dekade setelah Sumpah Pemuda, bangsa ini bukan disatukan oleh cita-cita, melainkan oleh korupsi yang menjelma jadi bahasa kekuasaan.

KITA hidup di negeri yang aneh. Negeri yang pandai berdoa tapi lupa makna kejujuran. Negeri yang merayakan Sumpah Pemuda setiap Oktober, tapi menelan sumpah integritas setiap hari kerja. Di sini, orang jujur dianggap bodoh, pejabat bersih dianggap aneh, dan korupsi jadi bahasa resmi kekuasaan.

Setiap 28 Oktober, bangsa ini kembali mengulang kisah heroik para pemuda yang bersumpah satu: satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa — Indonesia. Namun sembari kita memperingatinya dengan upacara dan seremonial, diam-diam sumpah itu retak di cermin kekuasaan. Sebab janji yang diikrarkan untuk persatuan dan kejujuran kini dikaburkan oleh kerakusan — oleh korupsi yang kian mengakar di setiap lapisan birokrasi dan politik negeri ini.

Bahkan saat bangsa ini berdiri tegak di panggung internasional, dasarnya rapuh oleh kebusukan moral yang menjalar. Indeks Persepsi Korupsi (CPI) 2024 versi Transparency International menempatkan Indonesia di skor 37 dari 100, peringkat 99 dari 180 negara. Bayangkan, dua dekade setelah reformasi, skor kita nyaris tak bergerak. Dunia melaju, tapi kita tetap berdiri di tempat — bergelimang suap dan kompromi. Skor itu bukan sekadar angka, melainkan cermin buram semangat kejujuran yang memudar, tergantikan oleh kepentingan dan loyalitas semu.

Korupsi yang Sistemik, Kekuasaan yang Tak Pernah Belajar

Korupsi hari ini bukan lagi tindakan individu yang menyimpang. Ia sistemik, mengalir seperti darah di tubuh kekuasaan. Ia mengatur proyek, menulis kebijakan, menentukan siapa yang menang pemilu, bahkan siapa yang duduk di kursi penegak hukum.

Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat kerugian negara akibat korupsi pada 2024 mencapai Rp279,9 triliun. Nilai ini setara dengan membangun 9.000 sekolah menengah atau 400 rumah sakit tipe B. Tapi uang itu menguap — disulap lewat markup, fee proyek, dan persekongkolan antara politisi dan pengusaha.

Di sisi lain, KPK hanya memulihkan Rp2,54 triliun aset negara tahun 2024, kurang dari satu persen dari kerugian sesungguhnya. Sebuah ironi telanjang: lembaga antirasuah kini seperti singa yang dikurung — mengaum, tapi tak lagi menggigit.

Data Mahkamah Agung (2024) bahkan menunjukkan lebih dari 60 persen terdakwa korupsi dihukum di bawah empat tahun penjara. Hukuman yang lebih ringan daripada mencuri ayam. Inilah tragedi hukum kita — lembut pada yang berjas, kejam pada yang jelata.

Pemberantasan yang Dikorupsi

Yang lebih menakutkan dari korupsi adalah ketika pemberantasannya ikut korup.
KPK yang dulu disegani kini kehilangan taring. Revisi undang-undang, pemilihan pimpinan yang sarat kepentingan, dan kriminalisasi terhadap penyidik berintegritas membuat lembaga ini kehilangan kepercayaan publik.

Halaman:

Tags

Terkini