Survei Indikator Politik Indonesia (2024) mencatat hanya 38 persen warga yang masih percaya pada penegakan hukum bebas intervensi. Artinya, enam dari sepuluh warga yakin keadilan bisa dibeli. Bila hukum dapat dinegosiasikan, lalu apa arti kemerdekaan?
Korupsi kini bukan lagi sekadar pelanggaran, tapi bahasa transaksi politik. Ia menjelma dalam bentuk jual beli jabatan, mahar politik, dana aspirasi, hingga jatah proyek. Dan ketika keadilan bisa ditawar, yang hancur bukan hanya uang negara, tapi juga jiwa bangsa.
Reformasi Moral, Sumpah Integritas
Di titik inilah kita mesti mengingat kata-kata Tan Malaka: “Agama digunakan untuk menghibur orang miskin agar tidak memberontak, sementara kekayaan hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang.”
Kalimat itu bukan sekadar kritik, tapi peringatan bahwa moral publik sedang ambruk.
Sebab, pemimpin sejati yang sungguh-sungguh berjuang untuk kepentingan rakyat tidak perlu banyak janji; tindakannya dalam menegakkan dan mewujudkan keadilan sudah cukup menjadi bukti bahwa ia mengabdi pada bangsa dan negara. Indonesia kini tengah dilanda darurat moral.
Kita sering bicara reformasi birokrasi, tapi melupakan reformasi moral. Padahal akar korupsi tumbuh di dalam diri: ketika kita diam melihat ketidakadilan, ketika kita maklum dengan pungli kecil, ketika kita memilih diam karena “semua juga begitu.”
Perubahan sejati bukan dimulai dari ruang sidang DPR atau kantor KPK, tapi dari hati yang menolak tunduk pada kebusukan. Kita butuh gerakan moral, bukan sekadar gerakan hukum. Pendidikan antikorupsi harus menjadi budaya hidup — dari ruang kelas, rumah ibadah, sampai dunia digital.
Transparansi, digitalisasi layanan publik, dan perlindungan bagi whistleblower adalah langkah awal. Namun tanpa integritas manusia di dalamnya, semua hanya kosmetik.
Sumpah Pemuda 1928 adalah ikrar persatuan. Tapi kini bangsa ini butuh sumpah baru: Sumpah Integritas. Satu bangsa yang menolak kompromi. Satu nusa yang menolak sogok. Satu bahasa: kejujuran.
Tanpa integritas, Indonesia hanya akan menjadi negara yang tua sebelum waktunya — kaya sumber daya, tapi miskin kepercayaan. Dan pada akhirnya, korupsi bukan hanya menghancurkan ekonomi, tapi juga harapan.
Jika delapan dekade lalu pemuda bersumpah menyatukan bangsa, maka pemuda hari ini harus bersumpah menyelamatkan integritasnya dari godaan kuasa, dari jebakan korupsi, dan dari keheningan yang bersekongkol dengan kebusukan. Sebab tanpa kejujuran, kemerdekaan hanyalah sandiwara yang dimainkan para penipu bangsa.***
Artikel Terkait
Keadilan Fiskal dan Martabat Demokrasi
“Mental Stunting” Pejabat
Jalan Terjal Mengembalikan Akal Sehat Kekuasaan
DPR dan Mutu Rendah Legislasi
Satu Tahun Prabowo–Gibran: Antara Janji, Diplomasi, dan Cermin Realitas Rakyat
Narasi Jahat di Balik Upaya Sistematis Menjatuhkan Jokowi dan Keluarganya
Rapuhnya Integritas “Wakil Tuhan di Muka Bumi”