Di media sosial, warganet mengecam praktik semacam ini sebagai “korupsi struktural” yang sulit diberantas jika pola dana pokir tidak dievaluasi.
Sejumlah aktivis antikorupsi di Sumatera Selatan juga mendesak agar KPK tidak berhenti di level kabupaten, tetapi menelusuri aliran dana hingga ke elite partai politik daerah.
Deretan Tersangka dan OTT Dramatis
Dalam operasi tangkap tangan (OTT) pada 15 Maret 2025, KPK sudah mengamankan enam orang.
Mereka adalah Kepala Dinas PUPR OKU Nopriansyah, Ketua Komisi III DPRD OKU M. Fahrudin, Ketua Komisi II DPRD OKU Umi Hartati, anggota DPRD OKU Ferlan Juliansyah, serta dua pihak swasta M. Fauzi alias Pablo dan Ahmad Sugeng Santoso.
Baca Juga: KPK Serahkan Aset Rp27,6 Miliar ke Pertamina, Ternyata dari Kasus Lama yang Nyaris Dilupakan!
Tidak berhenti di situ, pada 28 Oktober 2025, KPK menetapkan empat tersangka baru: Wakil Ketua DPRD OKU Parwanto, anggota DPRD OKU Robi Vitergo, dan dua pengusaha Ahmad Thoha alias Anang serta Mendra SB.
Penetapan tersangka tambahan ini menandakan bahwa penyelidikan masih berkembang dan kemungkinan akan menyeret lebih banyak pihak yang terlibat.
Pola Serupa di Banyak Daerah: Peringatan untuk Pemerintah Daerah
Kasus ini mengingatkan publik pada skandal dana hibah Jawa Timur 2019–2022, yang juga melibatkan pengelolaan pokir oleh anggota DPRD dengan modus serupa.
Saat itu, dana hibah disalurkan ke kelompok masyarakat yang “diatur” oleh pihak tertentu demi imbalan proyek.
Menurut pengamat kebijakan publik Emil Salim, pola ini menandakan lemahnya sistem pengawasan dan evaluasi pada level daerah.
“Pokir seharusnya menjadi instrumen aspirasi masyarakat, bukan celah transaksi politik. Ini persoalan tata kelola yang kronis,” ujarnya saat dimintai pendapat.
KPK sendiri telah berulang kali mengingatkan bahwa mekanisme pokir harus transparan, berbasis kebutuhan publik, dan bebas konflik kepentingan.