Dualisme izin antara Kementerian Pertanian dan Kementerian Perindustrian membuat harga Tandan Buah Segar (TBS) di tingkat petani tidak stabil dan menimbulkan persaingan tidak sehat antarperusahaan.
Najih juga menemukan celah manipulasi pada laporan ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan limbah cair kelapa sawit (POME).
Ketidakseimbangan pengawasan di dua komoditas ini menimbulkan potensi kerugian tambahan sebesar Rp11,5 triliun per tahun.
“Masalahnya bukan hanya ekonomi, tapi juga keadilan bagi petani dan keberlanjutan lingkungan,” tambahnya.
Kelembagaan Belum Terpadu: Banyak Kementerian, Sedikit Integrasi
Masalah keempat yang paling kompleks adalah aspek kelembagaan. Saat ini, pengelolaan industri sawit melibatkan banyak kementerian dan lembaga, mulai dari Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, hingga Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Namun, menurut Ombudsman, belum ada integrasi regulatif yang kuat antarinstansi.
Hal ini menyebabkan munculnya pengabaian kewajiban hukum dan pelayanan publik yang tidak optimal.
“Akibat lemahnya koordinasi kelembagaan, publik tidak mendapat pelayanan yang transparan dan akuntabel. Padahal industri sawit menyerap sekitar 16 juta tenaga kerja dan menjadi penyumbang devisa ekspor terbesar, lebih dari 35 miliar dolar AS per tahun,” papar Najih.
Langkah Ombudsman: Dari Buku Menuju Reformasi Nyata
Melalui peluncuran buku terbarunya, Ombudsman RI berupaya memberikan peta jalan reformasi tata kelola sawit yang komprehensif.
Buku ini bukan sekadar laporan hasil kajian, tetapi juga panduan rekomendasi yang ditujukan bagi pemerintah, pemangku kepentingan, pelaku usaha, akademisi, dan masyarakat.
“Keberhasilan ekonomi tidak boleh mengabaikan prinsip-prinsip akuntabilitas, transparansi, dan keadilan,” tegas Najih.